Sabtu, 26 Juli 2008

Sudigdo Adi Impikan Rusah Sakit Universitas

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, Sudigdo Adi nampaknya cocok benar duduk dalam komisi yang salah satunya membidangi pendidikan ini. Bagaimana tidak politikus yang memiliki profesi awal sebagai dokter spesialis kulit ini memiliki pengalaman segudang di bidang pendidikan mulai dari dosen sampai jabatan guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung ditambah pengalamannya mengikuti berbagai macam organisasi, seperti organisasi kedokteran nasional maupun internasional, organisasi pemuda maupun politik.

Sebagai politikus di Senayan maupun sebagai dokter, dirinya seringkali menyuarakan kelemahan-kelemahan sistem pendidikan tinggi di Indonesia terutama pendidikan kedokteran. Menurut Sudigdo walaupun pendidikan kedokteran di Indonesia sudah berkembang sejak Perang Dunia I, Universitas di Indonesia yang memiliki fakultas kedokteran tidak berkembang sebagaimana mestinya dan sebagaimana kebutuhan dan tuntutan zaman.

Hal ini bisa dilihat di dua universitas tertua di Indonesia yang memiliki fakultas kedokteran, seperti Universitas Indonesia (UI) di Jakarta dan Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya. Menurutnya dari contoh kedua universitas yang terkenal melahirkan tenaga-tenaga dokter professional itu masih belum memiliki rumah sakit sendiri.

"Seluruh Universitas di Indonesia yang memiliki fakultas kedokteran tidak memiliki rumah sakit sendiri. UI belum memiliki rumah sakit sendiri, dan masih menggunakan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo milik Departemen Kesehatan untuk kepentingan pendidikannya. Begitu juga dengan Universitas Padjajaran (Unpad) yang masih menggunakan Rumah Sakit Hasan Sadikin milik pemerintah daerah. Universitas-universitas lainnya pun seperti itu," ujar Sudigdo.

Dengan kondisi seperti ini universitas pun akhirnya hanya berkembang menjadi fasilitas belajar semata, seperti mempelajari ilmu-ilmu klinis seperti kesehatan masyarakat, epidemologi, laporan kasus dan sebagainya. "Padahal seharusnya seperti universitas lainnya di luar negeri yang memiliki rumah sakit atau klinik sendiri, ilmu yang dipelajari mahasiswanya pun tidak semata ilmu-ilmu yang telah disebutkan tadi, namun bisa digunakan sebagai fasilitas pengembangan ilmu kedokteran, seperti riset, mikrobiologi, molecular, biokimia dan sebagainya," ujar anggota European Academy of Dermato Venereology ini.

Hal ini tentunya merupakan satu kondisi yang tidak mengembirakan, mengingat sejarah sekolah kedokteran pertama di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak tahun 1851, dimana pada saat itu didirikan sekolah pendidikan kedokteran pertama di Indonesia oleh Pemerintah Jajahan Belanda di Welterveden, Gambir Batavia. Dan walaupun sejarah kedokteran di Indonesia telah berusia lebih dari 150 tahun, menurut Sudigdo, untuk masalah riset, sekolah kedokteran di Indonesia tertinggal 30-40 tahun dibandingkan dengan negara lainnya.

"Dengan potensi dokter yang tidak kalah dengan negara-negara maju, sebaiknya pemerintah membangun satu pusat riset bidang kesehatan. Pusat riset itu jangan dibuat di Jakarta, supaya seluruh dokter tidak ngumpul di Jakarta saja. (www.jurnalnasional.com)

Tidak ada komentar: