Rabu, 07 Januari 2009


Komentar tentang masalah yang tertinggal
Sudigdoadi

                  Pada saat saya membaca surat elektronik di nasional list maka dalam hati saya tertawa kecut. Mengapa? Ada seorang staf pengajar di UNLA menulis kegalauan beliau tentang keluhan masyarakat tentang dokter di Indonesia. Setidaknya kita menjadi sadar ada sesuatu yang salah dalam dunia dokter khususnya dan pada umumnya sistem kesehatan. Pada saat ini ada kurang lebih 60 fakultas kedokteran yang lama maupun yang baru didirikan, baik yang stausnya swasta maupun negeri.  Pendidikan kedokteran sejak dulu sampai sekarang sangat diminati oleh orang setengah kota, tetapi bagi orang kota besar animonya sudah mulai kalah dibandingkan dengan jurusan yang sekolahnya pendek dan cepat menghasilkan uang bagi para pemegang ijazah nya. Sementara untuk menjadi dokter perlu waktu kuliah yang lama, dan kesuksesan dalam bidang materi maupun jabatan lebih lama dibandingkan dengan jurusan hukum, teknik atau ekonomi.
Pandangan masyarakat tradisional terhadap dokter adalah malaekat berbentuk manusia, ramah, supel, memperhatikan kepentingan masyarakat, siap menolong kapan saja dan last but not least kaya dan terpandang. Pada saat jumlah yang harus dilayani oleh dokter masih sedikit, maka dokter memang merupakan kelas tersendiri, banyak keuntungan ( previleges) yang di dapat bahkan sampai dengan awal tahun 70 -80 an dokter mendapat perlakuan khusus untuk dapat menjadi pegawai negeri melalui program inpres V/75 yang keluarkan oleh almarhum Presiden Suharto.
 Akan tetapi sekarang ini tidak ada keistimewaan tersebut, prosedur tetap untuk menjadi pegawai negeri (PNS) sama dengan sarjana lain, tergantung formasi,dan formasi ini menjadi sesuatu komoditi yang mahal. Pada saat ini, justru dokter masih terikat dengan peraturan dan undang undang yang mengharuskan mereka untuk melakukan registrasi melalui Konsil Kedokteran Indonesia ( KKI), dengan mengikuti ujian dokter Indonesia yang diselenggarakan KKI, dan bila akan melakukan usaha sebagai dokter praktek harus ada ijin dari Menteri Kesehatan. Sehingga kalaupun ada keinginan menjadi dokter , seorang calon mahasiswa fakultas kedokteran harus berpikir ulang, apalagi menjadi spesialis bidang klinik tertentu perlu tambahan waktu belajar dan pelatihan di rumah sakit kurang lebih 4 sampai 5 tahun minimal dan bisa sampai 7 tahun. Padahal pendidkan spesisialis bukan diakui sebagai pendidikan gelar, akan tetapi sebagai pendidikan profesi. Sehingga statusnya ngambang, bukan magister bukan doctor.
Pendidikan dokter, sekarang ini sangat mahal, oleh karena terbatasnya fakultas kedokteran yang dapat menampung minat calon mahasiswa untuk menjadi dokter. Dan oleh karena perlu berbagai ragam peralatan yang harus disesuaikan dengan kemajuan teknologi, maka pendidkan dokter dan dokter spesialis menjadi pendidikan yang padat modal dan kering pendidikan etika.  Pendidikan etika menjadi pendidikan teori. Pendidikan etika menjadi seperti pendidikan agama, sekadar mencari lulus, dan minim contoh oleh para senior di bidang kedokteran. Beratnya beban melayani pasien dirumah sakit, sulit untuk memberikan contoh yang baik untuk bersikap etis, banyak factor yang menyebabkan selain factor beban pekerjaan bisa jadi oleh karena mahasiswa  dijejali contoh hidup bergaya hedonis, bukan pengabdian sesuai sumpah dokter ayat pertama yang berbunyi : Saya akan membaktikan hidup saya untuk kepentingan perikemanusiaan.
Apalagi dulu terjadi disekeliling kita yang kental apalagi dengan jargon: politik no,  ekonomi and pembangunan yes. Orang jadi cenderung pragmatis, sebab menurut hemat saya politik adalah lembaga tempat orang berjuang  dan memperjuangkan cita2 bangsa. Bukan tempat mencari nafkah, maka setelah ekonomi yes, pembangunan yes, politik no maka jiwa pengabdian politisi menurun drastis sekadar menjadi alat penguasa untuk membuat seolah – olah pembangunan sesuai kehendak rakyat. Political will dari masyarakat atau pemerintah tidak tersalurkansehingga terjadi  kebuntuan aspirasi.
Terjadinya  dekadensi moralitas yang semakin lama semakin hebat, desakan konsumerisme yang mengglobal menjadikan semua atau mungkin hanya sebagian besar yang berpikir untuk menjadi sarjana yang dihasilkan opleh system pendidikan tinggi sekarang ini, berorientasi pada karier pribadi.  Yang lebih parah lagi, institusi pendidkan dijadikan mesin uang, sementara fungsi negara di dsalam hal ini, depdiknas sampai sekarang belum tampak dalam pendidikan tinggi, fungsi depdiknas masih mengatasi problema rutin yang dihadapi. Problema wajib belajar, jadi boro boro memikirkan pendidikan dokter, pendidikan tinggi secara umum saja  dikti baru mempunyai  jangkauan yang sangat terbatas.
Perlu disadari pendidkan dokter adalah pendidikan yang spesifik sekali, merupakan sub sistem dari sisdiknas, menyangkut pendidikan keilmuan, pendidikan ketrampilan laboratorium dan klinik, serta ketrampilan profesi yang dilandasi etika  oleh karena subyeknya adalah manusia. 
Pendidikan kedokteran yang semakin mahal, pengaruh budaya yang mengglobal sehingga nilai2 etika mulai mengalami perubahan disisi lain pendidkan yang cenderung semakin mahal karena mengejar kemajuan teknologi  menjadikan pendidkan kedokteran perlu modal yang besar. Demikian pula karena padatnya modal yang harus dikeluarkan dalam pendidikan dari dokter umum ke spesialis dan spesialis tingkat II yang disebut konsultan, maka peserta didik yang telah lulus cenderung kejar tayang untuk mencari balikan modal karena dulunya modalnya entah ngutang bank, atau mertua atau makan tabungan.Dengan prinsip modal yang ditanam harus segera kembali beserta revenuenya.
Sementara kalau jadi pegawai negeri, kok rasanya modal gak akan balik modal, jadilah lingkaran setan yang sulit diputus, antara jiwa pengabdian dan tuntutan kehidupan sesaat. barangkali ini faktor pendorong terjadinya korupsi oleh para dokter PNS. Dengan adanya kapitalisasi dan globalisasi sistem pendidikan diubah menjadi seperti model anglo saxon, yang kita dulu ikut sistem continental ( maklum budaknya belanda kan ?) dan persaingan masuk FK yang sanagat ketat, maka sekarang tidak mungkin anak orang kelas tengahan masuk FK. Contoh berapa uang masuk di FK UI ? Fakultas kedokteran negeri sudah banyak yang lebih mahal dari FK swasta.
Pada saat ini ada kecenderungan untuk mencari mahasiswa asing atau yang berduit dengan alas an subsidi silang, dan sekarang banyak fakta lapangan yang dapat dilihat bahwa  kursi FKN  di bagi  menjadi 3 bagian, minimal dua bagian. Sebagian bayar yang bayar mahal dan sebagian lagi bayar seperti ketentuan diknas. Dengan alasan demi meningkatkan mutu dan meningkatkan kesejahteraan dosennya,  maka uang masuk dan uang sekolah jadi selangit.  Kejadian yang ada sekarang adalah bahwa  pada kenyataannya untuk kelas yang generik ( sesuai tarif dan standar diknas ) hanya 20-30 %, sisanya dijadikan alat cari duit oleh Fakultas & Universitas. Salah satu contoh satu PTN di jabar membuka kelas Internasional  hanya karena pahasa pengantarnya bahasa inggris, sebanyak 100 kursi, dan 100 kursi lagi untuk kelas khusus, yang generik tinggal 100 kursi.Dengan standar SMU yang seperti sekarang, maka hanya anak orang kaya saja  yang bisa les tambahan, bimbingan khusus dlsb bisa lolos ke kelas generik.Jadi disini agak berbeda dengan pendidikan dokter di Kuba misalnya, yang katanya mereka menganut faham komunis. menurut aku sih, ada benarnya pendidikan seperti itu, walaupun gak bisa dirujuk mentah2. Padahal anak orang mampu ni berapa yang daiajari tentang hak orang kurang mampu? Ini adalah akibat liberalisasi yang menganut persaingan bebas, sehingga terjadilah persaingan bebas beneran, yang tidak mampu ditinggal di landasan, sedang yang mapu tinggal landas menuju kemakmuran pribadi.
Saya pernah rapat barengan dengan mendiknas, dan dengan polosnya pada saat masalah ini saya buka dia jawab dia tidak  mendalami masalah pendidikan kedokteran dan pada tingkat MENKO pun tidak pernah dibicarakan, apa tidak aneh ? namanya Mendiknas tidak ngerti problem pendidikan spesifik. Bayangkan pendidikan dan kesehatan adalah cita2 kita, dalam cita2 yang termaktub dalam pembukaan UUD '45 adalah  meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa , akan  tetapi sub sistem pendidikan kedokteran yang sudah 100 tahun berdiri masih saja  kedodoran untuk mengejar ketinggalan di segala bidang, dan sejak Indonesia merdeka  tahun belum ada pejabat yang menangani  masalah di kompartemen pendidkan biomedical & kesehatan secara  khusus padahal kita mengalami masalah kesehatan yang tidak pernah  selesai2. Di dirjen dikti yang mengurusi 2600 PT diseluruh Indonesia, dan Lebih dari 60 FK dan FK swasta, nggak ada yang nama direktur pendidikan biomedic & health sciences, masalah pendidkan dokter diserahkan tim ad hoc, hasil ? ya ad hoc pulalah hasilnya. Hebat kan sistem kita?
Penggunaan tenaga dokter oleh depkes juga semrawut,  coba lihat konsentrasi dokter sebagian besar di kota besat, lebih dari 60 % spesialis kerja di jakarta. Mau kemana dan diapakan rakyat kita ? Sarana praktek dokter baik dokter umum maupun dokter yang akan jadi spesialis belum jelas standardisasi kwalitas pembimbingnya . Akreditasi diserahkan perkumpulan profesi. Pendidikan spesialis hanya oleh fakultas kedokteran negeri, disetir para KAMPIUN  dokter tua yang merasa ngerti pendidikan kedokteran dan merasa paling hebat. Ini yang bikin biaya tinggi pendidikan dokter dspesialis, dan jadi komditas ekonomi.
 Hanya dengan tenaga kesehatan pada umumnya yang khususnya dokter yang baik akan mampu meningkatkan kinerja yang ujungnya meningkatkan  derajat kesehatan bangsanya. Selanjutnya baru masyarakat mampu merasakan peningkatan kesejahteran. Memang kesehatan bukan segalanya, tapi tanpa kesehatan gak ada itu segalanya. Kalau  bicara pendidikan etika,  buku yang mengandung etika kedokteran sudahlah gak usah diomongin, buanyaaaaak sekali. Tapi contoh konkrit dokter yang seperti albert schwitzer mana ada di Indonesia ini ?
Di Jakarta contonya dokter yang relatif muda sudah spesialis mobil kinclong rumah bertingkat,  mau apa lagi? Desakan potret dokter yang dibayangkan masyarakat adalah dokter itu kaya, ganteng, cantik dan baik hati. Mau ganteng perlu duit, mau cantik perlu duit mau dermawan perlu duit. Daripada jadi dokter mendingan jadi  penyanyi, pemain sinetron. Duit lebih banyak, cepet beken dan kaya.
Bagi dokter non spesialis yang PNS, kalau mengaharapkan hidup dari gaji pemerintah ya sulit,  sampai nunggu kaca membusuk barangkali belum tercapai keinginan jadi  jadi kaya. Akibat selanjutnya adalah  praktek sore ( swasta ) jadi andalan. Ya hukum pasar belaku lah lah, penderita jadi komoditas, salahkah ?Apakah  Pemerintah sudah memberi imbalan cukup ? Apakah sistem renumerasi wajar ?  gak ada itu, jadilah komersialisasi profesi. Profesional boleh, tapi komersial ya sebaiknya dihindari. Tapi siapa yang kasih contoh kaya Dr. Sutomo, Dr. Tjipto,, dr,. Karyadi . Kita sedang krisis bangsa kita sedang sakit , krisis segala bidang.
Saran saya mari kita perjuangkan perbanyak pendidikan dokter umum dan spesialis. Kalau perlu FK swasta boleh mendidik dokter spesialis, kemudian standardisasi nasional, nanti kalau spesialis banyak kan harganya gak melangit  dan dokter tidak akan bisa bertindak semena mena, sebab nantinya banyak saingan.  Mereka akan meningkatkan kwalitas dan daya saing, masyarakat yang untung. 
Peran diknas ngatur kurikulum, peran depkes ngatur distribusi, peran depkeu ngasih standar gaji yang cukup. Asal gaji cukup dokter yang pegawai negeri jangan boleh praktek sore seperti di malaysia. Mudah2an renumerasi dokter dapat membaik sehingga mereka yang menjadi PNS bisa hidup wajar ( sandang, pangan, papan, kesehatan ) terpenuhi, sehingga mereka nggak berlomba praktek swasta mas. Kalo mau jadi dokter swasta yang kaya ya jangan jadi PNS. tapi aturan itu belum ada, dokter pemerintah di gaji kecil, ngarit dimana-mana dan suka tidak suka mau tidak mau ya berkedok profesional selanjutnya batas ke arah komersialisasi sangat tipis.
Bandung 7 januari 2009