Kamis, 21 Agustus 2008

DPR Cari Masukan UU Pendidikan Dokter

Jawa Pos
Kamis, 6 Maret 2008

SURABAYA - Komisi X DPR ikut prihatin atas kualitas pendidikan dokter di Indonesia yang tertinggal oleh sejumlah negara tetangga. Sebagai salah satu upaya mendongkrak kualitas, kemarin (5/3) empat wakil rakyat mendatangi Kampus Unair. Mereka ingin mendapat masukan sebagai bahan merumuskan UU tentang pendidikan dokter.

Empat anggota Komisi X DPR itu adalah Soedigdo Adi (PDIP), Balkan Kaplale (Partai Demokrat), Dedi Soetomo (PDIP), dan Abdul Hamid Wahid (PKB). Mereka ditemui Rektor Unair Fasichul Lisan serta beberapa petinggi Fakultas Kedokteran Unair.

Dalam pertemuan itu, Soedigdo mengaku ikut prihatin atas kualitas pendidikan dokter. Betapa tidak. Pendidikan dokter di Indonesia sebetulnya sudah sangat lama berjalan. Namun, kualitasnya masih kalah oleh pendidikan dokter di negara lain yang umumnya masih sangat baru. Baik dari SDM maupun jaringan infrastruktur. "Padahal, para dokter itu nanti menjadi ujung tombak globalisasi," ungkapnya.

Karena itu, kata Soedigdo, banyak alternatif yang dipikirkan DPR untuk memacu mutu. Yakni, menyarankan FK menggandeng rumah sakit umum. Rumah sakit menjadi tempat praktik para calon dokter. "Hal itu sudah banyak dilakukan. Nah, saat ini peran pemerintah tinggal menyediakan peralatan. Semua alat yang dibutuhkan harus segera dipenuhi," tegasnya.

Selain itu, upaya yang bisa memacu pendidikan dokter adalah mendirikan rumah sakit baru. Upaya tersebut juga sudah dirintis beberapa PTN melalui pendirian rumah sakit pendidikan. "Tenaga kerjanya bisa diambilkan dari para dokter itu," jelasnya.

Saat ini, DPR mencari rumusan yang pas untuk bisa mendongkrak mutu dokter. Di antaranya, melalui regulasi khusus.

Wakil Rektor I Unair Muhammad Zainuddin menuturkan, para wakil rakyat memang saat ini sedang menggodok payung hukum untuk memacu pendidikan dokter tersebut. Payung hukum itu diharapkan bisa menjadi rujukan pemecahan masalah pendidikan dokter. Di antaranya, solusi untuk mendongkrak jumlah dokter hingga cara penyebaran dokter yang tepat.

Salah satu masalah yang harus dicarikan solusi, kata dia, adalah soal biaya pendidikan dokter agar lebih terjangkau mahasiswa. Dirjen Dikti Depdiknas menghitung, biaya pendidikan dokter itu mencapai Rp 17 juta setiap tahun. Jumlah tersebut belum ditambah biaya yang harus ditanggung dalam praktikum. "Diharapkan, UU Pendidikan Dokter itu bisa menjadi solusi mahalnya pendidikan," katanya.


Polemik SPMB Memanas

Surya Online
Kamis 6 maret 2008

SURABAYA - Komisi X DPR RI akan memanggil Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasly Djalal PhD menyusul kerasnya polemik penyelenggaraan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) antara perhimpunan SPMB Nusantara dengan Paguyuban Rektor PTN Jatim. Cawe-cawe para wakil rakyat tersebut disampaikan Prof. Dr. dr. Soedigdo Adi, anggota DPR RI dari PDIP.
Menurut Soedigdo, pihaknya sudah mendengar polemik penyelenggaraan SPMB tersebut. Hanya saja, hingga kini DPR belum memikirkan membawa masalah tersebut dalam pembicaraan serius. “Tapi dengan makin dekatnya pelaksanaan SPMB, Komisi X bisa saja memanggil Dirjen Dikti untuk mengklarifikasi hal itu (polemik SPMB),” ujarnya usai sidak ke Unair, Rabu (5/3).
Pemanggilan tersebut dinilai penting agar masyarakat, khususnya calon mahasiswa baru (Maba), tidak resah dengan model dan format baru penerimaan maba.

Langkah DPR ikut cawe-cawe cukup tepat. Pasalnya Dirjen Dikti belum menanggapi surat yang dikirim sembilan PTN di Jatim yang berniat menggelar SPMB sendiri.
Meski Dirjen Dikti belum bersikap, paguyuban rektor PTN di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Indonesia Timur, sudah menentukan sikap mendukung 'pemberontakan' PTN Jatim. Sikap ini muncul saat pertemuan di Universitas Udayana Bali, Selasa (4/3). Dengan bergabungnya tiga wilayah tersebut, dari 56 PTN di Indonesia, saat ini 24 PTN yang resmi menyatakan keluar dari Perhimpunan SPMB Nusantara. uji


Target RUU Narkoba Dipercepat

Jawa Pos
Senin, 10 Juli 2006

Ada Pasal Khusus Atur Prekursor

JAKARTA - Terbongkarnya sindikat pengiriman bahan baku ekstasi dari Jakarta ke Australia beberapa hari lalu menginspirasi Pansus RUU Narkoba untuk segera menyelesaikan tugasnya. Pansus juga akan membahas khusus obat-obatan yang merupakan prekursor pembuatan ekstasi.

Prekursor adalah bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan obat yang berada dalam pengawasan. Contoh prekursor yang berhasil dibongkar Mabes Polri dalam sindikat Jakarta-Australia itu ialah jutaan tablet pseudoeephedrine HCL. Ini adalah prekursor pembuatan ekstasi karena mengandung amfetamin.

"Kita akan membahas khusus prekursor ini agar tidak ada celah dalam penanganan kasus narkoba," kata Ketua Pansus RUU Narkotika di DPR Prof Sudigdo Adi kemarin.

Dia mengaku, pihaknya telah mempunyai list panjang mengenai prekursor-prekursor yang berpotensi disalahgunakan sebagai bahan pembuat narkotika. "Daftar ini kami susun berdasar temuan BB POM (Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan), BNN (Badan Narkotika Nasional), dan Depkes. Jadi, jangan khawatir bahwa kasus ekspor bahan ekstasi dari essence obat flu bakal bisa dijerat," tandasnya.

Meski demikian, kata Sudigdo, pihaknya masih membutuhkan pertemuan bersama antara BB POM Depkes, Depperindag, dan BNN. "Sebab, tidak mudah untuk langsung melarang peredaran prekursor-prekursor yang kemudian dijadikan bahan narkotika," paparnya.

Dia kemudian mencontohkan sebuah prekursor seperti KMNO4 dan eephedrine. "Dua prekursor tersebut bisa dipakai untuk industri obat, bisa dipakai untuk katalis, sekaligus juga bisa disalahgunakan sebagai bahan baku ekstasi. Tentu tidak mungkin kalau tiba-tiba peredaran eephedrine dilarang, bisa tutup buku pabrik obat yang ada," tandasnya.

Karena itulah, imbuh Sudigdo, pihaknya kini merancang sebuah aturan yang bisa menjerat penyalahgunaannya. "Misalnya, Anda tentu tak mungkin toh membawa satu kilogram valium dipakai sendiri, karena ada indikasi Anda bakal menyalahgunakannya. Nah, kira-kira seperti itulah nanti UU Narkotika tersebut bekerja. Tetap memperbolehkan pengiriman untuk kepentingan yang baik, namun menangkap bagi para penyalahgunanya," urainya.

Daftar para prekursor, lanjutnya, tetap harus dimasukkan untuk mengantisipasi penyalahgunaannya. "Jangan sampai kasus pengiriman bahan baku ekstasi Indonesia-Australia yang dibongkar Mabes Polri dan kepolisian Australia hanya berakhir dengan menjerat para pelakunya dengan UU Bea Cukai dan penyelundupan. Terlalu ringan," tegasnya.

DPR: Home Schooling Harus Ditata

Jurnal Nasional
26 September 2007

PROGRAM pendidikan home schooling yang akhir-akhir ini menjadi fenomena dalam masyarakat harus ditata dengan baik. Program tersebut juga mesti diawasi secara ketat pelaksanaannya, agar tidak timbul generasi masa depan Indonesia yang individualistis, tak mengenal masyarakatnya, dan tak mengenal akar budayanya.
Demikian diungkapkan anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Sudigdo Adi kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Selasa (25/9). "Kalau tak diwaspadai, 20-30 tahun lagi bangsa ini akan kehilangan jati dirinya. Lalu, mau dibawa ke mana masa depan bangsa ini?" katanya.
Politikus PDI Perjuangan ini berharap, para orang tua harus menyadari tanggung jawab sosial mereka, dengan mendidik anak-anaknya untuk tidak menjadi egois. Anak-anak harus dididik sebagai anak Indonesia yang memiliki akar budaya Indonesia, memiliki semangat nasional, dan solidaritas sosial yang tinggi.
Pada rapat kerja, senin (24/9), Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menjelaskan, home schooling merupakan pendidikan informal yang keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. "Bagi siswa home schooling, mesti mengambil ujian Paket A, atau Paket B, atau Paket C," kata Bambang.

DPR: Harus Ada Target Pendidikan Nasional

Jurnal Nasional
19 Nopember 2007

Pemerintah pusat terutama Departemen Pendidikan Nasional menurut Anggota DPR RI komisi X yang salah satunya membidangi pendidikan, Sudigdo Adi sampai saat ini masih belum memiliki rencana jangka panjang untuk menata sistem pendidikan nasional yang komprehensif yang dapat dilaksanakan secara konsisten.
Hal inilah menurut Sudigdo yang menyebabkan sistem pendidikan di Indonesia menjadi stagnan, karena kebijakan yang selalu berubah. Selain itu Sudigdo juga menambahkan pemerintah Indonesia juga tidak memiliki goal atau tujuan, seperti apa misalnya bentuk pendidikan dimasa datang yang harus dicapai, dan berapa lama hal itu harus bisa diwujudkan.
Pendidikan yang baik menurut Sudigdo harus melalui tahapan input, proses dan output. Input di perguran tinggi adalah anak-anak lulusan SMA, yang harus diuji dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga bisa didapatkan input yang baik. Setelah itu baru proses pendidikan dilaksanakan oleh perguruan tinggi, yang juga memiliki standar, baru kemudian bisa dihasilkan sarjana yang berkualitas.
"Banyaknya sarjana yang menganggur bisa disebabkan karena dalam prosesnya ada yang tidak benar sehingga dihasilkan sarjana-sarjana yang tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan oleh lapangan pekerjaan," ujar politkus PDIP ini.
Di luar negeri seperti di Jerman, perguruan tinggi menerapkan sistem numerus clausus yang membatasi jumlah mahasiswa. Ini disebabkan karena daya tampung fakultas yang terbatas dan karena pemerintah telah juga mengumumkan bahwa lapangan pekerjaan untuk bidang tertentu hanya sedikit.
"Misalnya di Belanda, mereka tidak segan menutup fakultas kedokteran gigi di universitasnya, karena mereka tahu bahwa lapangan pekerjaan untuk dokter gigi sudah mencukupi dan kalau diteruskan akan over suply, sehingga lulusannya pun akan menanggur," ujarnya.
Rektor Universitas Jakarta Bedjo Suyanto mengatakan, kondisi demikian memang dilematis bagi pemerintah, karena disatu sisi pemerintah ingin memberikan banyak kesempatan bagi penyelenggaran pendidikan maupun masyarakat, sementara disisi lainnya lapangan pekerjaan yang tersedia tidak bisa menampung.
"Saat ini ada sekita 150 perguran tinggi negeri dan lebih dari 3000 perguruan tinggi swasta. Ini membuat pengawasan mutu pendidikan sulit dikontrol," ujar Bedjo.
Untuk itu, kata dia, para penentu kebijakan baik pemerintah maupun DPR harus memiliki komitmen bersama untuk memecahkan persoalan ini

Obat Generik Makin Merana

Jawa Pos
Jumat, 25 Feb 2005

Pasien Enggan, Dokter Ogah
SLIPI -Obat generik semakin merana. Sampai saat ini, masih muncul keengganan menggunakan obat murah dari pemerintah ini. Anggapan obat generik tidak manjur dan minimnya informasi yang diperoleh masyarakat, menjadi salah satu penyebabnya.

Hal itu semakin diperparah dengan keengganan dokter menuliskan resep generik bagi para pasiennya. Padahal, di rumah sakit pemerintah sudah ada aturan yang mewajibkan dokter menggunakan obat generik bagi para pasiennya.

"Sayangnya, aturan itu tidak mempunyai efek hukum. Direkturnya tidak bisa menegur dokter yang memberikan resep non-generik," ujar Sudigdo Adi, anggota Komisi IX DPR RI di sela-sela seminar sehari Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Bagi Masyarakat di Rumah Sakit Kanker Dharmais, siang kemarin.

Menurut dia, aturan yang mewajibkan penggunaan obat generik di rumah sakit pemerintah hanya aturan tertulis tanpa sanksi tegas. "Jika dokter ndablek, paling hanya ditegur. Itu pun, direktur rumah sakit kalau mau mengeluarkan teguran harus izin menteri," imbuhnya.

Karena itu, anggota dewan dari Fraksi PDI Perjuangan ini menyarankan dokter yang enggan memberikan obat generic bagi pasiennya harus di beri sanksi tegas. "Kalau perlu keluarin aja," katanya penuh semangat.

Sebenarnya, pemerintah telah melakukan pemantauan penggunaan obat generik di rumah sakit. "Bentuknya seperti rapor bulanan. Secara berkala ada rapor dari para dokter tentang penggunaan obat generik. Ini terkait dengan kondite kerja mereka," terang Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan Krisna Tirtawijaya di tempat yang sama.

Hanya saja, mekanisme itu sejak beberapa tahun terakhir ini sudah tidak lagi digunakan. Pengawasan penggunaan obat generik di rumah sakit pemerintah saat ini dilakukan oleh Komite Farmasi yang ada di setiap rumah sakit. Sayangnya, pengawasan ini tidak di barengi dengan pemberian sanksi tegas. Akibatnya, biaya kesehatan yang harus di tanggung oleh masyarakat semakin mahal, karena jarang yang memakai obat generik.

"Selisih harga antara obat generik dengan obat paten terpaut jauh," ujar Dani Pratomo, direktur utama PT Indofarma, produsen obat yang secara khusus memproduksi obat generik. Menurut dia, perbandingan harga antara obat generik dan paten bisa mencapai 1 banding 4.

Dani mencontohkan perbandingan harga pada Amoxicilin ukuran 500 miligram. Generik bagi obat ini dipatok seharga Rp 323, sedang obat paten jenis yang sama Rp 2.250. Obat lainnya, Acyclovir 200 miligram Rp 671 (obat paten Rp 4.070), dan Ciprofloxacin Rp 864 (obat paten Rp 8.250). Harga jual obat generik itu akan semakin rendah jika diperuntukan pada pasien pemegang kartu Keluarga Miskin (Gakin).

Dani juga menolak keras anggapan masyarakat bahwa obat generik tidak memiliki daya sembuh yang bagus. "Obat generik di buat dari bahan yang sama. Hanya kemasannya saja yang membedakan antara obat generik dan paten," ujarnya.

Data terakhir yang ada di Departemen Kesehatan menunjukan, penggunaan obat generik tahun lalu hanya sebesar 10,4 persen dari total seluruh pasar obat di Indonesia. Total transaksi obat generik di Indonesia tahun lalu hanya sebesar Rp 2, 1 trilyun dari total pasar obat sebesar Rp 20 triliun.

Tentangan Kian Keras

Jawa Pos
Jumat, 25 Feb 2005

Terkait Perubahan Status RSUD
SLIPI - Polemik perubahan status Rumah Sakit Daerah (RSUD) menjadi perseroan terbatas (PT) kian memanas. Protes keras terkait perubahan status RSUD Pasar Rebo, RSUD Haji, dan RSUD Cengkareng, terus mengalir meski pihak Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta telah mengeluarkan pernyataan tidak akan menswastanisasi tiga RSUD itu.

Alasan menentang perubahan tersebut adalah bahwa mereka khawatir perubahan status membuat akses kesehatan bagi masyarakat kecil semakin tertutup. Bahkan, argumen yang menyatakan perubahan status ketiga rumah sakit itu dibutuhkan guna meningkatkan daya saing, juga dianggap tidak wajar.

Bukan hanya kalangan masyarakat dan DPRD DKI Jakarta yang mempertanyakan kondisi tersebut. Polemik itu juga mendapat reaksi keras dari anggota Komisi IX DPR RI, Sudigdo Adi. "Ngawur itu. Kalau alasan manajerial, sistem manajemennya yang diperbaiki, bukan statusnya yang diubah," tegas Sudigdo Adi, di sela-sela seminar sehari Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Bagi Masyarakat, siang kemarin.

Menurut dia, DPR tetap menolak perubahan itu walau pada dengar pendapat dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta beberapa waktu lalu, berakhir tanpa kesimpulan. "Kami pasti menolaknya," sambung guru besar Universitas Padjajaran itu.

Hal senada diungkapkan oleh Dr Marius Widjajarta, ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Alasannya, perubahan status tidak bisa menjamin manajemen rumah sakit akan membaik. Bahkan, sebagai upaya menentang perubahan status, pihaknya telah mengajukan judicial review (peninjauan kembali) kepada Mahkamah Agung, dua minggu lalu. "Kami seratus persen tidak setuju," ujarnya.

Marius menilai bahwa perubahan status berdampak pada meningkatnya biaya pelayanan kesehatan. "Belum apa-apa mereka sudah mengajukan rancangan kenaikan 400 persen tarif rumah sakit," ungkapnya. Marius juga menganggap alasan perubahan status itu bertujuan untuk memaksimalkan manajemen rumah sakit agar bisa bersaing dengan rumah sakit swasta sama sekali tidak tepat. "Sistem manajemennya yang harus diubah. Nyatanya, banyak rumah sakit swasta yang juga mati," ujarnya.

Marius justru menduga di balik kontroversi itu terdapat oknum-oknum yang hendak memanfaatkan keadaan. Mereka itulah yang diduga akan mengambil alih kepemilikan RSUD. "Dengar-dengar 17 RSUD lainnya juga menyusul menjadi PT," katanya, seraya mempertanyakan peranan Badan Pengawas Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta. "Saya justru pengen tahu apakah Bapeda punya peran nggak ? Selama ini kan yang di kejar Kepala Dinas terus," keluhnya.

Rabu, 20 Agustus 2008

Sudigdo Adi, Mewariskan Idealisme Politik Sang Ayah

Jurnal Nasional
28 September 2007

"ENGKAU sudah menjadi dokter. Kau harus ikut membangun negeri ini. Kalau ada orang yang merusak, minimal kamu tak ikut merusak. Negeri ini terbangun dari tetesan darah dan keringat orang tuamu ini," demikian Sudigdo Adi menceritakan kembali ucapan ayahnya, SH Adiwiyoto ketika dia lulus menjadi dokter. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dari PDI Perjuangan ini sampai merinding ketika mengulangi ucapan ayahnya yang pejuang Pembela Tanah Air (PETA) tersebut.
Sejak usia kelas V Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD, red) pada taun 1960, Sudigdo kecil sudah disuruh ayahnya untuk membaca pidato Bung Karno yang berjudul Lautan Pancasila. Jadi, sejak kecil, politikus kelahiran Walikukun, 14 April 1949 ini telah hidup di lingkungan idealisme politik.
"Bahwa kemudian saya terjun ke politik, semata ingin meneruskan idealisme politik orang tua saya, dengan inspirator utama Bung Karno," kata Sudigdo yang ditemui Jurnal Nasional di ruang kerjanya di Jakarta, pekan lalu.
Maka, sejak tahun 1964, dia sudah menjadi anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI). Disusul, pada tahun 1968 menjadi aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Tak heran kalau setahun kemudian, ketika masih kuliah tingkat I di Universitas Airlangga, Surabaya, Sudigdo yang baru berusia 19 tahun telah bergabung dengan Partai nasional Indonesia (PNI).
Doktor jebolan Universitas Padjadjaran (Unpad) ini mengaku, terdorong ke politik karena situasi. Sang ayah yang mantan pejuang kemerdekaan telah menanamkan idealisme politik dalam dirinya. Idealisme untuk ikut serta membangun bangsa dan negeri ini. Sudigdo mengaku, sangat mengagumi idealisme sang ayah yang diwarisinya tersebut. "Orang tua saya tak pernah menyuruh saya menjadi kaya. Melainkan menjadi orang pinter, dengan sekolah yang baik, dan berjuang untuk membantu mengangkat harkat bangsa ini," kata ayah empat orang anak beristrikan seorang doktor bernama Sunarjati ini.
Kini, Sudigdo ingin tinggal menikmati hidup. Warisan idealisme politik sang ayah kini diestafetkan kepada empat orang anaknya. Dan, dia sangat yakin bawa anak-anaknya telah mampu mengemban estafet ini. "Sure! I am very sure!" kata Sudigdo ketika ditanya tentang kesiapan anak-anaknya dalam mengemban idealisme yang akan diwariskannya tersebut. Dia bahkan mengaku, tak akan mewariskan apapun, selain idealisme ini. Dia berharap, anak-anaknya dapat mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh.
"Ingat, kalian harus tetap berjuang, karena kalian punya beban hutang moral untuk ikut membantu meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa ini. Kalian berasal dari keluarga pejuang. Kalian bisa sekolah karena Indonesia merdeka," itulah pesan yang Sudigdo sampaikan kepada anak-anaknya.
Sudigdo menegaskan, dirinya mampu meraih gelar doktor berkat generasi ayahnya yang telah memerdekakan Indonesia. Karenanya, dia merasa memiliki hutang pada bangsa ini. Dia pun berharap, generasi penerusnya memiliki kesadaran serupa. Sebuah warisan yang sangat berharga!