Senin, 29 Desember 2008

Potret fenomena pendidikan dan harapan masa depan

Selamat pagi
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh
Salam sejahtera bagi kita semua
Selamat Natal bagi saudaraku sebangsa dan setanah air yang merayakan,
Selamat tahun baru 2008,
Selamat tahun baru Hijriah 1430
serta selamat tahun baru Jawa 1941.

Pembaca yang terhormat,
mari bersama kita renungkan masa depan pendidkan bagi anak bangsa saat ini, dan kita berharap untuk masa depan.

Kapasitas perguruan tinggi yang tersedia pada saat ini, secara umum hanya dipenuhi oleh orang yang mampu secara ekonomi dan kemapuan akademis yang tinggi. keterbatasan PTN yang ada, serta menjamurnya PTS di tanah air rasanya belum mampu menjawab kebutuhan tenaga profesional yang andal , bermutu tinggi dan mampu menjadi lokomotif pembangunan kesejahteraan bagi seluruh warganegara Republik Indonesia yang kita cintai bersama ini.
Fakta yang ada dihadapan kita saat ini adalah bahwa kualitas lulusan SLTA belum merata . Sejauh ini lulusan SLTA yang berada di pinggiran, hasilnya belum mampu bersaing dengan hasil lulusan di perkotaan terutama di kota besar yang terletak di Jawa.

Katakanlah, misalnya lulusan dari kota kabupaten di jawa saja belum tentu menang dengan lulusan SLTA favorit misalnya di SMA VIII jakarta, atau SMA III di bandung atau SMA V di surabaya.
Kenapa mereka merupakan hasil lulusan SLTA tersebut mempunyai mutu yang baik ? Terutama oleh karena mereka berasal dari hasil seleksi calon siswa yang terbaik dikotanya, jadi pada dasarnya mereka merupakan bibit unggulan. Yang kedua mereka pada umumnya bisa mendapat pelatihan diluar sekolah dengan melakukan les privat, atau bimbingan bejar dal lain sebagainya. Kalau anak2 ini dengan kemampuan yang tinggi berasal dari sekolah favorit tersebut masuk PTN ( perguruan tinggi negeri ) maka merupakan hal wajar saja. Persoalannya adalah berapa persenkah anak2 yang merupakan bibit unggul ini apabila dibandingkan dengan yang kwalitas biasa biasa saja ? Disisi lain, justru dari keluarga yang pas2an, pada umumnya mereka sulit menembus persaingan untuk masuk kesekolah yang bermutu tinggi tersebut dan harus difahami bahwa mereka pun mempunyai hak yang sama untuk masuk PTN.

Jadi yang terjadi sekarang adalah anak yang berkemampuan tinggi dan mempunyai latar belakang ekonomi yang relatif tinggi mempunyai kans lebih besar masuk PTN, maka cita2 BHP yang memberikan 20 % kursinya bagi yang tidak mampu menjadi sulit ditembus bagi kebanyakan anak lulusan SLTA yang standar saja.Mengapa demikian ? sebab ujian masuk saringan PT tidak melihat asal usul calon mahasiswa, akan tetapi melihat hasil seleksi ujian masuknya. kemampuan kognitif calon mahsiswa menjadi tolok ukur utama. Memang hal ini tidak salah, namun disisi lain adalah bahwa siswa SLTA di negeri kita yang mampu luslus saringan itu menjadi sanagat kecil persentasenya. Adanya banyak PT didirikan, maka juga terjadi segregasi mutu calon mahasiswa yang masuk ke PT. sehingg fenomena favoritisme juaga akan terjadi di perguruan tinggi.Jadi di dalam ini, kelihatannya terjadi seleksi alamiah yang menang adalah yang kuat ( survival of the fittest ), maka selanjutnya adalah tugas negara meningkatkan mutu SLTA yang ada di seluruh belahan tanah air agar fenomena " favoritisme " itu mengurang dan terjadi perataan mutu siswa SLTA sehingga ada suatu keuntungan bagi siswa di sekolah non fanorit untuk dapat masuk ke PTN.

Fenomena yang lain adalah oleh karena tidak diterima di PTN, maka anak lulusan SLTA yang tidak masuk ke PTN masuk ke PT swasta yang tentu biayanya akan lebih tinggi dari PTN. Sungguh ironis bukan ? mereka yang pas2an baik dari segi kemampuan dan umumnya juga pas2an dari segi finansial justru membayar lebih banyak dibanding mereka yang mapan dari segi finansial dan prestasi. kalauy hal ini dibiarkan maka 20 tahun yang akan datang, sarjana kita yang bermutu tinggi hanya akan bersasal dari kaum yang berpunya, jadi secara umum fenomena kesejahteraan sosial bagi selurah rakyat Indnonesia tentunya akan makin jauh dari kenyataan karena kita terjebak dalam persaingan bebas tanpa pengarahan dari negara yang seharusnya berperan memberikan kesempatan kepada kelompok yang perlu ditingkatkan kemampuannya.

Dari fenomena ini, maka UUBHP perlu juga dibantu dengan berbagai PP yang memberikan rambu2 agar agar proses persaingan bebas ini dapat dikendalikan bagi kemajuan anak bangsa yang akan datang.
Sebagai saran pemikiran sebagai berikut :
  1. Seleksi siswa pasca wajib belajar 9 tahun dengan tujuan melakukan strafikasi kemampuan bagi mereka yang mempunyai potensi untuk masuk PT diarahkan dan dibina agar mereka mampu melanjutkan ke PT. Mereka dipersiapkan menjadi inovator dalam penelitian dan menjadi sumber staf pengajar di PT yang berorientasi pada pengembangan ilmu ( Science )
  2. Sementara bagi yang kemampuannya kurang cukup untuk memasuki PT , diberikan wahana pendidkan profesi yang membuat mereka dapat langsung membuat lapangan pekerjaan demi peningkatan kesejahteraan mereka di masa datang.
  3. Bagi kelompok yang kedua ini disediakan pendidikan setara PT yang lebih berorientasi pada pendidikan profesi, dan mereka dipersiapkan menjadi sumber tenaga trampil dimasa datang untuk menunjang kemajuan teknologi dimasa datang.
  4. Pemerataan pendidikan di seluruh lapisan dan wilayah di dalam lingkup negara kesatuan rRepublik Indonesia
Demikian hasil renungan pagi hari di tahun baru Hijriah atau tahun baru Jawa,
selanjutnya penulis menanti komentar dan saran dari pembaca yang terhormat.
Salam
Sudigdoadi

Rabu, 12 November 2008

apakah jalan pembangunan ekonomi kita sudah benar?

Pertanyaan yang perlu dijawab dengan hati2 , setelah 63 tahun merdeka ternyata cita2 kemerdekaan kita belum juga tampak horizonnya. Pada pasal 33 UUD'45 jelas tertera bahwa :
1. perekonomioan disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2. Cabang cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ini bunyi sebelum dilakukan amandemen, setelah amandemen,ada tambahan 2 ayat sehingga berbunyi sbb :

4. Perekonomian diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan. Kemandirian sertadengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan undang - undang.

terlepas dari kontroversi tentang amandemen itu sendiri, maka ada baiknya dikaji benar pakah sistem perekonomian yang ada di Indonesia tercinta ini sudah mencerminkan kelima pasal dari UUD ' 45 itu ?

sebagai orang yang bukan ahli hukum dan bukan pula ahli dalam bidang ekonomi, maka saya ingin mengajak kawan pembaca tulisan ini untuk berdiskusi tentang sistem perekonomian dengan asas kekeluargaan yang dijelaskan dalam pasal- pasal tersebut hasil amandemen dikatakan perekonomian dibangun atas prinsip demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan berkelanjutan berwawasan lingkungan dan mandiri dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi.
Apa yang dimaksud dengan ekonomi berasaskan kekeluargaan yang mengikuti prinsip demokrasi ekonomi sudah ada di Indonesia?
Mohon disimak kenyataan yang ada, mulai dari adanya UU penanaman modal, UU MIGAS, dal lain sebagainya.Atau atas tindakan peemrintah yang memberikan hak eksklusif terhadap penanam modal sampai dapat menyewa tanah perkebunan sampai dengan 95 tahun merupakan contoh memanfaatkan kekayaan bagi kesejahteraan rakyat banyak ??
Adakah konsep kekeluargaan ?
apakah ada pertanda bahwa UU yang dibuat pada saat ini merupakan pengejawantahan dari ayat 2 dan ayat 3 ? Ekses yang terjadi adalah bahwa pada saat ini, bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak lagi dengan tegas dikuasai negara dan untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melainkan sekarang faktanya yang makmur hanya sebagian kecil orang yang di dalam hal ini adalah pemodal atau dalam kata lain kaum kapitalis.
Masih mendingan kalau mereka juga memperhatikan masalah lingkungan,bahkan sedikit demi sedikit sumber bahan mentah dan alat produksi pun sudah berpindah tangan kepemilikannya sudah di tangan asing. Mengerikan, bukan ?

Adanya desakan privatisasi, tentunya ini mengeliminer fondasi ekonomi berdasarkan kekeluargaan.
Efisiensi ?
lebih ngeri lagi, BUMN yang ada semua dianggap tidak efisien bila dilakukan oleh negara. Padahal tengok saja di tetangga kita PETRONAS menjadi pemain global yang tangguh, Singapore airlines Mendunia . Mengapa BUMN kita harus di jual ? Apa kekayaan negara yang ada di BUMN itu bukan milik rakyat ?
Mari kita renungkan bersama, sekarang setelah negara kapitalis yang paling kampiun di dunia ambleg gara2 krisis ekonomi, dinegara kita negara ( BUMN) disuruh membela pasar yang notabene bukan milik sebagian besar rakyat kecil. Inikah kebijakan yang berfihak rakyat banyak ?
Disini terjadi kenyataan bahwa rakyat disuruh nombokin kerugian kapitalis. He heee, fenomena apa yang ada didalam kepala para pemikir konsep ekonomi di negeri kita ini ?

Salam hormat
Sudigdoadi

Minggu, 09 November 2008

Aktualisasi Faham Kebangsaan dan Aplikasinya di Dalam Bidang Pendidikan Nasional

Pendahuluan
Pada awal abad ke 19, dunia pergerakan Asia mengalami suatu pasang, dan di tandai dengan kemenangan Jepang atas Rusia di perang laut selat Tsusima serta berbagai pergerakan di berbagai penjuru Asia untuk mencoba melepaskan diri dari pengaruh penjajahan baik di bidang politik, ekonomi dan kekalahan teknologi bangsa timur. Pada saat itu beruntung rumpun bangsa melayu yang merupakan penduduk terbesar di daerah yang pada saat itu dikenal dengan nama Hindia –Belanda, mendapatkan anugerah dari Sang Pencipta dan diberikan olehNya seorang bayi laki – laki lahir pada bulan Juni, tanggal 6 tahun 1901. Bayi kecil yang kemudian kita lebih mengenalnya dengan nama SUKARNO. Beliau sekarang yang saya kenal sebagai bapak Marahenisme.

Dasar Pemikiran Marhaenisme
Dasar pemikiran Marhaenisme, tidak dapat tidak harus ditelusuri dari evolusi dan biografi pemikiran Soekarno, teristimewa tulisannya pada “Suluh Indonesia Muda” tahun 1926 berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (DBR, 1963) Di sini tampak jiwa sinkretis dari seorang pemuda yang kita kenal dengan nama Sukarno, beliau tidak mencari perbedaan ideologik dan wacana pemikiran akan tetapi mencari persamaan atau sintesa agar dapat digunakan sebagai senjata bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Pemahaman Sukarno terhadap Nasionalisme, beliau katakan bahwa adalah paham yang mengutamakan kepentingan nation (bangsa). Sedangkan bangsa, difinisi yang beliau anut adalah Ernest Renan (1882): adalah kelompok masyarakat yang memiliki keinginan untuk bersatu. Persatuannya didasarkan persamaan nasib, pengalaman, bukan karena ras, bahasa ataupun agama.
Pandangan Sukarno muda terhadap agama yang ia peluk, Penggunaan agama sebagai ruh pergerakan beliau adaptasikan dari pemikiran pemikir Islam yang merupakan jiwa atau roh dari gerakan kaum islam di Asia yang melawan penjajahan bangsa kulit putih. Faham yang merupakan aktualisasi faham Islam yang menghendaki penyebaran rakhmatill alamin. Suatu paham perlawanan para pendekar Islam seperti Sheikh Muhammad Abdouh dan Sajid Djamaluddin El Afghani dari Pan Islamisme terhadap imprialise barat (1896)
Sedangkan faham kaum materialis yang kulminasi pemikiran di akhir abad 19 di pelopori oleh Karl Marx, beliau tidak menolaknya secara total . Oleh karena Marxisme adalah suatu bentuk sosialisme yang didasarkan pada pertentangan golongan dan kelas, maka beliau katakan di Indonesia tidak ada pertentangan kelas tetapi pertentangan bangsa indonesia kepada kaum penjajah. Sehingga beliau hanya mengggunakan metoda pemikiran sejarah materialisme sebagai alat analisa mengapa bangsa kita ini menjadi terpuruk, dan faham beliau ini mengilhami bangsa indonesia untuk mengenyahkan penjajah. Bahwa perbaikan nasib buruh kalau di Eropa merupakan hasil perjuangan mereka melawan kelompok menengah ( bojuis) suatu perlawanan yang muncul karena kulturdasar, sifat dan keadaan sosial mereka yang berbeda. Kaum kapitalis Di Eropa dan Amerika berbeda kondisinya dengan situasi yang dihadapi di dalam perjuangan kaum marhaen di Indonesia.
Perbedaan utama kita adalah kaum yang sangat menjunjung tinggi IMAN, dan kaum marhaen di Indonesia mempunyai hak pribadi atas alat produksi. Perbedaan yang kedua adalah bahwa penduduk di lingkungan NUSANTARA sejak sebelum masehi mereka sudah mengenal tuhan mereka dan mereka sadar dan yakin bahwa kehidupan ini terjadi karena adanya tuhan sang maham PENCIPTA. Sikap bertuhan ini kemudian semakin mengental dan meningkat keimanan mereka setelah kedatangan agama Islam di Indonesia yang dimulai sejak zaman pemerintahan di Samudera Pasai di awal abad XI dan sampai saat ini Islam merupakan agama yang di peluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia. Sedangkan agama Nasrani di Eropa pada saat terjadinya revolusi industri justru dipakai sebagai alat penindas rakyat oleh penguasa. Ini merupakan perbedaan mendasar karena sejak awal keberangkatan perjuangan kemerdekaan ini dilandasi keyakinan bahwa Allah menciptakan manusia di bumi sebagai mahluk yang harus berbakti kepadaNYA dan perjuangan bangsa Indonesia dilandasi oleh semangat menentang de – islamisasi oleh orang kulit putih. Bahkan ada yang secara tegas mengatakan perjuangan melawan kaum penjajah yang berkulit putih itu perang jihad.
Sebagai seorang yang sangat sadar pentingnya rasa kesatuan dan persatuan, Sukarno melihat ada tiga faham yang dapat di jadikan alat perjoangan mencapai Indonesia merdeka. Nasionalisme, Islamisme adan Marxisme. Disini ia dengan sangat berani mencoba menggurui kaum pergerakan pada saat itu dengan mencarikan titik dasar persamaan kepentingan yaitu INDONESIA MERDEKA. Bahwa tanpa persatuan dan Kesatuan tidak mungkin kita merdeka, sedangkan kaum pergerakan terpecah menjadi tiga golongan besar sebagaimana telah disinggung diatas.

Marhaenisme versus komunisme
Marhaenisme merupakan hasil pemikiran yang jenius dari BK ( Bung Karno) setelah ia menjalani “kontemplasi internal ideologis” di dalam pengembaraan ilmiahnya mencari resep atau formula memperjuangkan nasib bangsa Indonesia yang dipermiskin dan diperalat oleh sistem kolonialisme –imperialisme agar dapat kembali menikmati harkat dan hakekat suatu bangsa yang madiri berdaulat adil, makmur sejahtera. Mengalami saya katakan ini sebagai puncak pemahaman BK di dalam pengembaraan pencarian filsafatinya atau pengembaraan ideologisnya ? Karena dengan kontemplasi itulah lahir suatu karya pemikiran (idea) yang besar yang beliau gunakan sebagai azas dan pola perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan.
Sampai saat ini setelah 35 tahun pasca G-30-S / PKI yang membuat kemelut di dataran politik Indonesia stigma kaum marhaenis disetarakan dengan kaum komunis sungguh mengganggu perjuangan kaum marhaenis, karena mereka menjadi kaum yang harus baik sadar maupun tidak sadar dipinggirkan. Hembusan ini tidak lepas dari ketakutan bangkitnya nasionalisme ajaran Sukarno. Hal ini karena kawasan nusantara ini sangat penting bagi garis hidup matinya kaum pemodal multi nasional yang di komandani oleh Amerika ( cq kaum yahudi pemodal ). Selama hampir 40 tahun bangsa Indonesia jadi anak manisnya kaum pemodal, digerojog dengan hutang dengan dalih bantuan, dan pelan pelan kita terjerat oleh lintahnya kaum penjajah ekonomi. Indonesia khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya adalah ladang pasar dan ladang bahan baku bagi kelangsungan industri mereka. Namun di dalam hempasan badai orde baru yang tidak menghendaki ajaran Sukarno besar itu ternyata masih banyak orang yang yakin bahwa marhaenisme itu bukan komunisme dan merupakan obat mujarab bagi kebangkitan bangsa di masa sulit ini. Dan orang – orang tersebutlah yang berjuang baik sendiri maupun bahu membahu mencoba memelihara marhaenisme yang diajarkan sang guru bangsa.
Marhaenisme adalah suatu ajaran yang digunakan untuk melawan penjajahan bangsa oleh bangsa lain ( la exploitation de la nation par nation ) kalau di Indonesia ajaran yang Intinya adalah suatu keinginan untuk menyatukan rakyat melawan imperialisme ( DBR, 253-254). Sukarno membedakan dengan komunisme dengan jelas, intinya adalah marhaenisme bukan sosialisme yang menggambarkan masyarakat impian tanpa kelas seperti yang selalu di dengungkan sebagai dogma dasar kaum komunis. Akan tetapi masyarakat yang sejahtera lahir dan batin yang masih menghormati hak pribasi atas kekayaan materi. Kalau Marx mengajarkan kepada pengikut : bukan budi dan akal manusia yang menentukan keadaan suatu benda, bahkan sebaliknya keadaan sekeliling menentukan budi akal sebaliknya Sukarno mengajarkan ETIKA yang dilandasi dengan IMAN kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan mohon di catat bahwa Karl Marx embahnya kaum komunis itu meletakkan dasar pemikiran hanya kepada kebendaan. Faktor immaterial dianggap tidak ada dan tidak berpengaruh sedangkan kesejahteraan batin erat kaitannya dengan masalah non materiel. Harga materi ditentukan oleh besaran kerja, dan masyarakt tanpa kelas yang akan menghilangkan hak kaum pekerja. Pemerintahan yang kemudian mencontoh dogma ini, Uni Soviet misalnya ternyata gagal di dalam mencoba menjalankan dogmanya. Faktor kegagalan itu yang utama adalah karena manusianya tidak merasa di manusiakan, sehingga tidak ada rasa memiliki.
Saat ini penulis ingat tulisan BK yang membedakan materialisme sebagai jalan filsafati ( Wisjgerig materialisme), dan histori materialisme sebagai ilmu. Mengapa hal ini penulis sampaikan karena menurut BK, perlu pula seorang marhaenis itu. Di dalam pengertian materialisme sebagai jalan filsafati dikatakan mempelajari hubungan antara materi dan pikiran (denken) sedang histori materialisme sebagai ilmu mempelajari mengapa terjadi perubahan kebendaan di dalam kehidupan ini (proses) . Sedangkan keadaan kita sehari hari jelas menunjukan adanya premis yang mendukung adanya keterpenuhan manusia akan benda benda ( Materi) bukan menjadi semakin cukup hidupnya akan tetapi semakin ia akan menjadi kekurangan karena jiwanya masih lapar karena hanya mengikuti nafsu kebendaan saja. Manusia di dalam kehidupannya perlu di MANUSIAKAN. Harga diri, rasa aktualisasi dan kebanggaan akan eksistensi pribadi pribadi merupakan ruh pergerakan kaum marhen, karena Marhaenis memperjuangkan manusia bukan sistemnya. Disini titik dasar perbedaan antara marhenisme dengan apa yang di inginkan oleh kaum komunis.
Selain itu dengan menelaah tulisan BK, kita dapat mengerti bahwa rupanya BK bukan penganut filsafat materialisme akan tetapi mempelajari sejarah kenapa terjadi perubahan atas gerak materi di dalam masyarakat ( histori materialisme) dan ini barangkali sekarang yang kita kenal dengan ilmu menejemen ekonomi atau ekonomi makro ( penulis ?) dan ini harus dikuasai oleh seorang penganut pemikiran Sukarno. Selain itu masih banyak hal yang lain yang secara fundamental sangat berbeda. Di dalam pidato Lahirnya Pancasila faham sosio nasionalisme dan sosio demokrasi yang baru diilhami adanya etika oleh beliau di tingkatkan dengan penambahan sila Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini kalau kita simak penulisan BK sejak halaman pertama sampai terakhir maka suatu benang merah atau jalinan pola pikir teoritik yang ia coba kemukakan kepada bangsanya. Sebagai contoh faham kebangsaan ( Nasionalisme ) BK adalah nasionalisme yang mementingkan sinergi dengan faham lain bukan suatu faham nasionalisme yang chauvinistik. Beliau mengutip Gandi: Bagi saya cinta tanah air ( nasionalisme ) yang saya anut adalah memasukkan cinta kepada manusia ( humanisme), saya seorang patriot oleh karena saya manusia dan bercara manusia (etika). Demikian pula beliau mepelajari pemikiran pemikir Islam yang besar di dunia. Dengan mempelajari konsep Pan Islamisme dari dua orang pendekar pergerakan Islam yaitu Sheikh Mohammad Abdouh ( Rektor Al-Azhar) dan Sayid Djamaludin al Afghani beliau melihat bahwa nasionalisme Indonesia haruslah nasionalisme yang menerima internasionalisme Islam . Dari konsep itu kemudian beliau jadikan socio nasionalisme . Satu faham yang merupakan sintesa nasionalisme, internasionalisme, humanisme dan etika serta IMAN. Sungguh satu perjalanan idea yang lancar dan tajam.
Kembali pada sejarah pergerakan BK yang melahirkan partai Nasional Indonesia, di dalam situasi krisis PNI ( Partai Nasional Indonesia) pada saat itu berdiri dengan tuntutannya : Indonesia merdeka sekarang juga! Untuk itu, satu-satunya jalan adalah : PERSATUAN dan KESATUAN . Untuk itu maka ia menghimpun seluruh pergerakan politik pada saat itu dan gerakan untuk bersatu tanpa membeda-bedakan agama maupun bahan politik berhasil sehingga pada 17 Desember 1927, PNI bersama-sama Sarekat Islam Dan PSI mendirikan PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia). Dari penggalan sejarah tersebut terlihat dengan jelas benang merah yang mengikat Sukarno, PNI, dan paham kebangsaan. Paham kebangsaan ini yang dijabarkan Soekarno sebagai sosio-nasonalisme dan sosio-demokrasi, suatu istilah yang diciptakannya sendiri untuk menjelaskan hubungan segitiga kebangsaan demokrasi dan kerakyatan.
Di suatu masa hingar bingarnya politik di Indonesia, pernah ada usaha yang dilakukan sekelompok tertentu berusaha membuat kelompok marhaenis itu tampak lebih keiri-kirian atau lebih revolosioner, pernah dikembangkan suatu definisi yang menyatakan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang disesuaikan atau diterapkan di sesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Sungguh suatu penyimpangan yang luar biasa. Karena Sukarno di dalam suluh Indonesia tahun 1927 tidak pernah menyatakan bahwa nasionalisme itu identik dengan Marxisme, akan tetapi nasionalis dapat berdampingan dengan kaum marxis di dalam usaha mencapai INDONESIA MERDEKA. Dan Syukur Alhamdulilah, definisi terakhir itu secara formal hilang dari wacana politik Indonesia setelah PKI gagal melakukan revolusi tahun 1965 dan MPR(S) melarang penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme. Rumusan Marhaenisme identik dengan Pancasila, Marhaenisme adalah Pancasila atau setidak-tidaknya Marhaenisme inherent dalam Pancasila lebih banyak diterima daripada rumusan Marhaenisme merupakan penerapan Marxisme disesuaikan dengan situasi di Indonesia.

NASIONALISME DI DALAM REFORMASI PENDIDIKAN
Secara konseptual nasionalisme Sukarno adalah nasionalisme yang bersifat Kesadaran nasionalisme yang berperikamanusiaan, konsep ini di lahirkan sejak tahun 1930-an dan ternyata arus besar ideologi dunia saat ini secara luas dapat dan sesuai dengan konsep tersebut. Di dalam hal ini maka dapat kita lihat bagaimana Sukarno bertindak menjadi seorang filsuf ilmu politik. Nasionalisme seperti itulah nasionalisme Indonesia, sosio-nasionalisme. Nasionalisme cap Indonesia, mudah-mudahan tidak terjerembab menjadi chauvinisme yang dengan dalih demi bangsa, bangsa lain harus tunduk kepadanya. Bukan nasionalisme Arian ala Hitler yang rasis. Bukan nasionalisme-etno sentris seperti negara-negara CIS (Commonwealth of Independent State) yang merupakan kepingan-kepingan Uni Soviet. Bukan nasionalisme-polisional ala Amerika Serikat yang begitu gatal menerjunkan angkatan perang bila dirasa ada “pelanggaran HAM dan demokrasi” di negara tetangga. Di sisi lain, nasionalisme adalah suatu faham yang mengutamakan keunggulan suatu bangsa. Keunggulan itu tentu saja bukan dimaksudkan untuk mendominasi bangsa lain, namun untuk tampil sejajar dengan bangsa-bangsa lain dalam konteks kesejagadan. Kehidupan antar bangsa (nation) dalam era global ditandai oleh kompetisi dan sekaligus kooperasi, karena pada hakikatnya tiada suatu bangsa hidup mengisolasi diri di balik tirai bambu bahkan tirai besi sekalipun. Bangsa-bangsa hanyalan subsistem dalam kesadaran kemanusiaan, mereka saling berinteraksi, saling membutuhkan, saling tergantung satu sama lain, itulah interdependensi. Mengapa kita harus berusaha dan berdoa, mudah-mudahan nasionalisme cap Indonesia tidak terdegradasi? Karena tanda-tanda itu ada sekarang ini. Contoh konkritnya: provinsi-provinsi ingin menjadi negara bagian. Yang lebih gila: ia ingin jadi negara yang berdaulat tanpa melihat sejarah dari pembentukan NKRI, sehingga apa yang diperjuangkan dengan susah payah menjadi hilang dan dinihilkan. Mengapa nasionalisme Indonesia, sosio-nasionalisme, bisa mengalami surut yang demikian hebat ? Penyebab-penyebabnya bisa diidentifikasi sebagai berikut:
Adanya ketidak seimbangan di dalam melakukan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, Dominasi politik ekonomi antara militer, Golkar, birokrat, pengusaha, yang gampangnya disebut ORBA, terhadap semua infra maupun suprastruktur politik/ekonomi dan penggunaan sistem kapitalisme yang mematikan daya hidup rakyat (local genius) dan menciptakan kultur KKN yang kuat di seluruh negeri.

Semua sebab-sebab itu menciptakan sentimen anti Soeharto, anti ABRI, anti golkar, anti konglomerat, anti Jakarta, anti Jawa, dan last but not least anti Republik bahkan anti Pancasila. Mengapa demikian ? Hal ini disebabkan adanya penindasan oleh penguasa dan keuasaan yang sebangun dengan kekuatan untuk menguasai hajat hidup rakyat itu cenderung korup (“Power tends to corrupt, absolutely power tends to corrupt absolutely.”) Rumusan klasik itu bukan tidak dimengerti orang Jakarta, tapi mereka merasa kekuasaan itu enak. Mereka lupa bahwa yang dikuasai tidak enak, apalagi kalau dikuasai, dikangkangi, ditindas, diperkosa terlalu lama. Jadi ada yang kurang pada penerapan nasionalisme Indonesia, yaitu kurang sosio-demokrasi. Apa yang dimaksud dengan sosio demokrasi ? Sosio demokrasi adalah suatu faham yang yang secara singkat mengatakan bahwa demokrasi politik juga harus diikuti demokrasi ekonomi sehingga menghasilkan suatu resultante kesejahteraan sosial yang baik bagi seluruh warga masyarakat. Tidak seperti penerapan demokrasi yang berjalan dengan sistem kapitalisme pada saat yang baru lalu, dengan akibat timbulnya konglomerasi dan kemajuan ekonomi dan kesejahteraan hanya dinikmati sebgian kecil masyarakat. Masyarakat luas hanya bisa mengelus dada karena akibat pembangunan yang seharusnya dinikmati oleh rakyat, tetapi ternyata hanya dinikmati para kaum sekeliling penguasa. Akibat yang serius adalah adanya rasa ketidak adilan, dan karena merasa tidak mempunyai daya mendorong rakyat mencari keadilan dengan cara mereka sendiri. Misalnya dengan melawan tim Tramtib di Jakarta, buruh membakar gedung DPRD. Habis ‘gimana lagi? Tidak ada keadilan. Kata the man on the street, nasionalisme bukanlah sesuatu yang given atau by design, ia adalah dinamis dan harus terus dipelihara. Nasionalisme seperti cinta, yang harus terus dibina, dipupuk dan dijaga. Ia perlu give and take. Jika penguasa maunya taking dan rakyat harus giving melulu, maka nasionalisme akan layu dan mati.
Nasionalisme haruslah kesadaran dan kehendak dari semua untuk bersatu dalam satu nation-state. Bung Karno berkata, “Masing-masing harus memberi bunga pada sanggul ibu pertiwi. Tetapi jika satu kelompok hanya mau merampok, maka kelompok yang dirampok pasti mempertahankan hak-haknya, bagaimanapun caranya.” Begitulah asal muasal terjadinya konflik. Bila terus berlanjut, nasionalisme bisa sakit bahkan mati. Itu yang diprediksi Kenichii Ohmae, dia mengatakan negara kebangsaan akan berakhir dalam bukunya “The End of Nation State”.
Jika suatu bangsa diibaratkan sebagai suatu tubuh (teori organisme), maka sakitnya bangsa bersifat kolektif. Seperti Nabi Muhammad SAW yang berpesan agar sesama muslim saling merasakan penderitaan saudaranya. Begitu juga bangsa Indonesia, hendaknya kita merasa sakit jika saudara-saudara kita menderita, dan bersama-sama mengatasinya. Begitulah yang terjadi pada organisme tubuh, jika infiltran memasuki tubuh, ia segera bereaksi secara refleks, berkedip, bersin bahkan ia memunculkan antibodi dalam tubuh. Dalam konteks seperti itulah reformasi hendak diletakkan dalam tulisan ini.
Di dalam hal ini penulis ingin mengatakan bahwa cita cita perubahan itu bukan baru timbul sekarang, akan tetapi akan selalu ada dan timbul apabila manusia itu melakukan suatu dinamika juang yang hidup. Perubahan kearah yang lebih baik, bukan perubahan menjadi lebih buruk. Sukarno memberikan istilah revolusi bukan hanya reformasi yang maksud itu adalah suatu keinginan berubah yang seiring dengan gerak revolusi manusia dan kemanusiaan Revolusi adalah the rising demand of mankind. Jadi revolusi pada saat ini hendaknya dilihat sebagai suatu reaksi terhadap ketidaknyamanan yang terjadi pada pembangunan nasional bangsa Indonesia. Reformasi sekarang ini mungkin merupakan euphism atau penghalusan agar tokoh sekarang tidak merasa digurui oleh Sukarno.
Secara harfiah mungkin maksud reformasi adalah memngubah bentuk ( reform ) yang sebenarnya adalah suatu reaksi terhadap penyelewengan penguasa konsep pembangunan dan strategi pembangunan bangsa yang dilakukan sejak 1966 sampai sekarang ini baru dapat dilakukan koreksi sedikit demi sedikit. Pada saat ini tuntutan reformasi sekarang ini ingin merubah bentuk beberapa hal fundamental bangsa, yang perubahan itu meliputi : (1) Mengamandemen UUD 45; (2) Mencabut dwifungsi ABRI; (3) Peradilan bagi pelaku KKN era Soeharto dan Habibie; (4) Peradilan terhadap pelanggaran HAM era Soeharto dan Habibie; (5) Desentralisasi, otonomi daerah seluas-luasnya; (6) Reformasi agraria, (7) Reformasi sistem perburuhan. Dan yang terakhir adalah reformasi di dalam bidang pendidikan. Tujuan reformasi itu sungguh mulia , namun juga harus disadari kemungkinan terajdinya perubahan yang tidak terkendali atau UNCONTROLED REFORMATION.

PENDIDIKAN NASIONAL
Walaupun sudah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, dan kemerdekaan itu dilandasi dengan idealisme untuk mencerdaskan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di seluruh tumpah darah Indonesia, namun demikian ternyata bahwa impian itu masih jauh dari kenyataan. Menurut hemat penulis, masalah peningkatan kesejahteraan sangat erat dengan tingkat kemampuan suatu bangsa di dalam meningkatkan harkat dan martabat mereka, dan kemampuan itu pada dasarnya dimulai dari bidang pendidikan. Demikian pula harkat dan martabat suatu bangsa sangat tergantung pada tingkat kemampuan yang di dapat dari pendidikan, serta kesejahteraan yang dicapainya.
Mutu pendidikan Indonesia secara umum masih sangat rendah, baik dibandingkan sesama negara ASEAN maupun dengan dunia pada umumnya. Sebagai ilustrasi mutu tenaga kerja atau SDM di Indonesia menurut UNESCO adalah peringkat 109, sedangkan negara terdekat Malaysia mempinyai peringkat 59 dan Brunei mempunyai tingkat 32. Sedangkan mutu pendidikan tingginya Indonesia pada peringkat 119 dan masih harus prihatin karena berbagai hambatan yang ada. Apabila alasan kecilnya anggaran ini disebabkan tidak adanya dana, maka perlu dipikirkan penghematan disegala bidang untuk meningkatkan anggaran pendidikan tersebut.


Filosofi dasar pendidikan di Indonesia yang akan dibangun dimasa datang

Masalah pokok dibidang pendidikan adalah menjawab tantangan masa depan bangsa di masa datang. Tantangan itu harus diidentifikasi sedemikian rupa, dan solusinya dituangkan di dalam kebijakan pendidikan. Bagaimana bentuk pendidikan di masa datang dan apa yang dimaksudkan dengan pendidikan, serta bagaimana pendidikan dapat dirasakan oleh seluruh warganegara Indonesia merupakan pertanyaan pokok yang harus diuraikan secara jelas untuk dapat dipecahkan dan merancang sistem pendidikan yang arahnya jelas, hasilnya bagus dan merata. Di dalam hal ini maka hasil akhir dari pendidikan sebagai suatu proses adalah produk lulusan suatu program pendidikan. Mutu produk itu sangat ditentukan oleh kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan masyarakat pengguna hasil pendidkan tersebut.

1. Masalah komitmen masyarakat dan pemerintah terhadap pembangunan sistem pendidikan
Di dalam hal ini ada tiga asumsi dasar yang perlu digaris bawahi, yaitu pengajar anak didik dan sarana pendidikan. Hubungan yang harmonis ketiga faktor tersebut akan sangat menentukan keberhasilan pendidikan di masa datang. Hubungan guru dan anak didiknya di Indonesia saat ini masih sangat paternalistik, apakah model seperti ini masih dapat dipertahankan di dalam era globalisasi informasi ? Komitmen pendidikan yang ada pada saat ini dapat dilihat dari bagaimana pemerintah dan para wakil rakyat memperhatikan anggaran pendidikan bagi seluruh rakyat. Pada saat ini anggaran pendidikan rasanya belum pernah lebih dari 5 % APBN. APBN tercapai 20 % setelah terjadi perdebatan panjang dan akan di realisasi pada tahun 2009. Bandingkan dengan Malaysia yang kurang lebih 20 %, USA yang sampai saat ini terus menganggarkan peningkatan biaya pendidikan. Beruntunglah pada masa pemerintahan presiden Megawati, porsi pendidikan mendapat perhatian yang bagus, tampak di dalam pidato pengantar RAPBN tahun 2002 anggaran pendidkan di Indonesia untuk pertama kalinya tercantum lebih dari 20 %. Langkah yang dianjurkan adalah :
a. Prioritas pendidikan merupakan prioritas utama di dalam penyususunan APBN
b. Penghematan di semua sektor pengeluaran misalnya gaji para direktur BUMN, para menteri dan pejabat lainnya, mobil dinas yang mewah dlsb.
c. Sentralisasi sistem perundangan dan pelaksanaan sistem pendidikan di bawah DIKNAS. Ada yang masih dapat diperkecualikan adalah pendidikan Militer dan polisi . Apakah pedidikan formal bagi DEPAG masih perlu otonomi maka perlu dilakukan kajian lebih lanjut.
d. Meningkatan peran masyarakat di dalam menyelenggarakan pendidikan
e. Mengurangi campur tangan badan non edukatif yang mencampuri masalah pendidikan.


Sistem manejemen pendidikan yang masih dualistik dan tidak terpadu
Masalah utama di dalam proses pendidikan adalah mutu dari para staf pengajar ( guru/ dosen) nya. Sistem menejerial di dalam sistem pendidikan masih perlu diperbaiki, sehingga dapat meningkatkan mutu hasil pendidikan dengan menggunakan sarana prasara yang ada.
Masalah pemerataan pendidikan dan mutunya, merupakan masalah yang cukup besar dan rumit, namun demikian secara ideal maka mutu dan pemerataan ini sebaiknya berjalan sinkron. Artinya kebutuhan akan mutu produk yang dituntut oleh masyarakat haruslah pas. Mutu yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi aset di dalam menghadapi persaingan global di masa datang. Suatu sistem untuk meningkatan kemampuan guru perlu difikirkan mengingat bahwa :
a. Perlu adanya pelatihan pra jabatan dan pelatihan di dalam sistem didaktik
b. Pelatihan durante labora ( di dalam masa kerja, untuk peningkatan jenjang karier)
c. Sistem pemenuhan kesejahteraan guru atau sistem imbalan yang berdasarkan prestasi.

Sistem kendali mutu pendidikan yang tidak jelas
Hal ini tampak di dalam hasil pendidikan yang tidak merata, misalnya antara sekolah favorit dan non favorit, kemudian berbedanya mutu hasil lulusan antar provinsi dan lain sebagainya. Masalahnya adalah kegamangan guru di dalam menjalankan tugas karena rewarding sistem ( penggajian) guru yang sampai saat ini tidak memadai. Sehingga timbul masalah yang lain yaitu bahwa pendididikan yang seharusnya mencakup competence, conscience dan compassion masih jauh dari harapan.
Hal tersebut terlihat dari :
1. Materi kurikulum yang sangat mengedepankan fungsi kognitif, dan materi ajar terutama IPS masih tumpang tindih.
2. Materi IPA belum mengacu pada prasyarat untuk mempelajari suatu bidang kajian.
3. Kesulitan lintas bidang pembelajaran
Kemudian masalah yang lain adalah bahwa sistem pendidikan kita telah kehilangan kesempatan mengasah nurani, kepedulian dan ketrampilan tangan para siswa. Jalan keluar dari masalah ketiga ini adalah kegiatan ekstra kuriukuler, namun kegiatan ini terhambat karena kekurangan waktu, pembimbing, tempat dan prasarana lain serta dana.

Kesalahan kebijakan.
Jika DPR dan presiden memutuskan bahwa anggaran pendidikan itu rendah maka secara logika representasi bisa mengatakan bahwa bangsa Indonesia dalam melihat dunia pendidkan memang baru sebegitu. Realitas itu juga menunjukkan apresiasi bangsa Indonesia terhadap pendidkan bukan merupakan modal dasar pembangunan bangsa . Padahal disis lain diakui oleh sebagaian besar bangsa di dunia yang maju bahwa pendidkan adalah modal dasar yang paling strategis di dalam usaha membangun bangsa dan negara. Masalah isi materi ajar di dalam pendidikan dasar Di dalam hal ini selain murid terlalu banyak materi yang tumpang tindih, maka perlu dikaji ulang suatu materi ajar untuk menumbuhkan pribadi bangsa di masa datang yang berkepribadian di dalam kebudayaan , mandiri di dalam bidang ekonomi dan sehingga dapat secara bebas Aktif menentukan puilihan hidupnya sebagai bangsa yang bermartabat, berdaulat dan merdeka.

Mandeknya reformasi pendidikan
Reformasi baik di dalam bentuk reformasi model pendidikan ( paradigma pendidikan ) dan juga reformasi implementasi sistem pendidikan. Model pendidikan yang sentralistik sulit di revisi.. Salah satu cara belajar siswa aktif yang di tahun 80-an diperkenalkan ternyata tidak mampu mengubah wajah hasil pendidkan kita. Sebaliknay asekarang pemikiran bahwa siswa merupakan subyek pendidikan dengan metode Quantum Learning , Learning Revulotion yang memadukan pendidikan bagi IQ,EQ,SQ dan AQ belum berjalan. Konskewensi rendahnya anggaran dengan jelas tampak pada munculnya kelas besar dengan jumlah siswa yang semakin padat. Akikbatnya mengurangnya kesempatan meningkatkan kreatifitas siswa apalagi pembentukan karakter. Selain itu anggaran rendah juga beriimplikasi menurunnya sarana penunjang belajar ( perpustakaan, praktikum dlsb).
Apabila kita mementingkan transfer of knowlegde dan bukan transfer of value and skill, maka dimasa datang bangsa Indonesia akan terjebak menjadi bangsa yasng kurang atau tidak berkarakter kebangsaan dan kemanusiaannya dan selanjutnya akan berkembang menjadi anarkis dan materialis. Padahal bangsa yang besar adalah bangsa yang berkarakter kokoh, berbudi pekerti luhur dan berwatak jelas. Apa yang terjadi pada generasi 20 tahun yang akan datang apabila reformasi pendidikan tidak dijalankan pada saat ini ?

Masalah guru dan Tatacara pembelajaran yang sudah ketinggalan jaman
Gagasan perbaikan sistem dan pelaksanaan pendidkan sudah banyak di tulis di dalam koran atau majalah ilmiah pendidikan, namun demikian setelah Bangsa Indonesia terbelit dengan kesulitan ekonomi ternyata semakin terasa bahwa gagasan itu masih berupa gagasan saja.
Ada beberapa kesalahan yang dapat ditengarai misalnya saat ini sikap guru pada umumnya adalah bersikap sebagai pengajar padahal seharusnya guru adalah pendidik, hal ini karena profesi guru belum dihargai sewajarnya. Penghargaan pada profesi guru masih sangat rendah. Hal ini berakibat input guru mengurang dan diisi oleh calon guru yang bukan calon terbaik, calon guru merupakan input seadanya dari para siswa.

Pada pelaksaaan kegiatan guru menjadi robot pelaksana dan instrumen mencapai target hasil pendidikan. Karena itu perbaikan pendidikan harus merupakan political will dan national concern bagi seluruh bangsa Indonesia, terutama pada tingkat pengambil kebijakan apakah itu DPR, atau Eksekutif. Akibat selanjutnya karena tidak adanya koordinasi program nation and character building maka rasa memiliki negara dan bangsa Indonesia semakin menipis. Ini merupakan tanggung jawab kita bersama.


Bandung 9 November 2008
Prof. H.DR.Sudigdoadi, dr. SpKK(K)

Tingkat Kesehatan dan Flu Burung

Hari hari ini sejak empat tahun yang lalu kita selalu diganggu dengan berita kematian oleh karena " epidemi flu burng "
Yang menjadi pertanyaan ini issue poltik atau kesehatan atau issue ekonomi global menggunakan penyakit sebagai monster?
Walaupun kematian ok infeksi flu burung di dunia dikawatirkan dan terjadi di banyak negara, namun dibandingkan dengan problem kesehatan kita di Indonesia maka secara angka sebenarnya perlu dipertimbangkan lagi penyiaran tentang penyakit flu burung itu agar masyarakat tidak menjadi terserang rasa cemas yang berlebihan.
Bayangkan saja misalnya angka kematian bayi pada saat dilahirkan di Jawa barat saja kurang lebih 35 sd 40 bayi meninggal setiap 10.000 kelahiran.berapa bayi yang baru lahir dan meninggal dunia setahun ? kemumungkinan besar penyebab kematian adalah faktor ketidak tahuan, faktor sarana dan prasana kesehatan terutama di daerah pinggiran.artinya menyangkut pendidikan, dan penataan sistem kesehatan di tanah air perlu dibenahi, jangan hanya membenahi tingkat pendidikan dasar saja. Ini problem yang cukup menakutkan, seandainya di Jawa barat atau di Indonesia ini ada sejuta kelahiran / tahun , maka artinya ada lebih dari 35 sd 40 ribu kematian bayi baru lahir / tahun. Apakah ini bukan tragedi nasional ?
Sementara sampai saat ini, infeksi oleh karena virus memang belum ada obbatnya. Membuat vaksin perlu virus spesifik dari tempat asal penyakit. Artinya secara awam maka flu burung di indonesia ya harus di vaksinasi dengan jenis virus yang menyerang indonesia. Usaha itu ( pembuatan vaksin ) kok belum ada tanda2 dimulai, padahal kita diserang flu burung sudah 4 tahun. OK- lah kalau vaksin buat manusia belum memungkinkan karena harus ada tahapan riset yang njlimet, bagaimana usaha membuat vaksin untuk usaha peternakan ayam misalnya ? Bukankah harus dimulai? berapa US $ yang harus dibuang untuk membeli vaksin flu burung di dalam rangka memberantas flu burung yang menyerang ayam misalnya ?
Dalih bahwa kita kurang tenaga ahli , perlu dipertanyakan sebab kita punya IPB, UGM yang mempunyai fakultas peternakan yang cukup handal. Kalau bicara prsarana belum ada, maka sebenarnya perlu dipertanyakan niat pengelola negeri ini, kapan akan meninggalkan ketergantungan terhadap orang asing baik dari tekonologi maupun metodologi ?
Kalau terus begini, maka pencetakan tenaga pfrofeional perlu ditingkatkan kalau tidak boleh dibilang gagal. Di saat ini, yang paling mungkin dikejar adalah bioteknologi untuk membuat vaksin, obat dan praktisi industri dipanggil partisipasinya, dan sisanya adalah tinggal koordinasi para ahli di berbagai pusat pendidikan bio-medical di seluruh tanah air dan dilakukan dengan memberikan prasarana dan sarana yang baik,sehingga terjadi suatu industri biopharmaceutical yang andal. Kalau mau pasti pasti bisa terlaksana.
Semoga di masa depan ide- ide seperti ini tidak hilang ditumpukkan arsip birokrasi.
Salam hangat
Sudigdoad, Prof

Sabtu, 08 November 2008

Cita-Cita Perjuangan

Kemerdekaan bangsa Indonesia,pada hakekatnya cita-cita kemerdekaan adalah mencerdaskan dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Namun demikian pada saat ini, kesejahteraan hanya dinikmati sebagian kecil warga bangsa. dengan jargon warga miskin sebagaimana patokan negara kita sekarang, maka sebenarnya yang termasuk warga miskin itu sudah bukan lagi miskin akan tetapi sudah sangat sangat miskin. boro2 pendidkan dan kesehatan mereka ppunyai sandang dan pangan masih merupakan hal yang mewah bagi mereka.Kita semua dikibuli dengan batasan miskin tersebut, sehingga seolah -olah warga miskin hanya sedikit. Sebagai ilustrasi, maka mari kita tengok sekeliling kita, banyak anak jalanan mengemis dengan dalih apapun, putus sekolah bukan sesuatu yang aneh disekeliling kita. Alasannya TIDAK PUNYA DUIT buat sekolah . Inikah yang kita dapatkan setelah 63 tahun merdeka dari jajahan bangsa asing?
Sementara usaha mencerdaskan bangsa, boleh dikata kita semua jalan ditempat. apalagi dengan leberalisasi dan korporatisasi institusi pendidikan, maka ongkos pendidikan yang di keluarkan warga bangsa akan semakin mencekik leher. Pemerintah yang seharusnya melindungi warganya dari kebodohan baru dapat dan sudah berpuas diri dengan wajar dikdas 9 tahun. Kapan kita mampu mencetak cendikiawan yang inovatif, produktif dan kreatif sehingga membuka jalan kesejahteraan bagi sekelingnya ? Sekarang mereka sebagaian besar masih sebagai foto kopi sarjana asing dibelahan bumi maju. bukan sebagai inovator ilmu karena mereka lupa akar budayanya sendiri.
Hasil pedidikan formal hanya mencetak kerani yang mencari majikan untuk bekerja dan mencari gaji dengan harapan agar hidup lebih layak dari sebelumnya. Hal ini bukan dosa, atau sesuatu yang diharamkan. Akan tetapi, kapan kita mencapai kemandirian baik dalam bidang ekonomi, politik dan berkpepribadian INDONESIA? Mari kita simak sekeliling kita, banyak generasi muda bukan lagi menjadi Indonesia seutuhnya, baik dari perilaku, cara berpakaian, sikap dan sopan santunnya apalagi cita2 nya apakah mereka masih berpijak pada cita2 kakek moyang yang mendirikan negeri ini ?
Inikah hasil pendidikan kita / Di kota besar banyak kita lihat generasi muda yang seperti oarng amerika atau eropa, baik tingkah laku maupun gaya hidup mereka. Ini tidak salah, tetapi bandingkan dengan 50 km saja dari pusat kota, betapa menyedihkan generasi muda kita. Sekarang ini perlu perubahan model atau paradigma, dalam pendidikan yang merupakan investasi dasar suatu bangsa.Bangsa yang cerdas yang akan survive. Mari bersama berjuang membuat sistem yang arah dan tujuan akhirnya adalah pendidikan yang lebih bermutu, merata dan terjangkau bagi sebagian besar bangsa Indonesia, jangan hanya sebagian atau malah segelintir anak bangsa menikmati pendidikan yang bagus, sebagian besar masih terbelakang. Untuk itu sistem kehetan harus menjadi soko guru meningkatkan kesehatan anak bangsa, yang akan melanjutkan cita2 kemerdekaaan.
Salam
Sudigdoadi

Kamis, 21 Agustus 2008

DPR Cari Masukan UU Pendidikan Dokter

Jawa Pos
Kamis, 6 Maret 2008

SURABAYA - Komisi X DPR ikut prihatin atas kualitas pendidikan dokter di Indonesia yang tertinggal oleh sejumlah negara tetangga. Sebagai salah satu upaya mendongkrak kualitas, kemarin (5/3) empat wakil rakyat mendatangi Kampus Unair. Mereka ingin mendapat masukan sebagai bahan merumuskan UU tentang pendidikan dokter.

Empat anggota Komisi X DPR itu adalah Soedigdo Adi (PDIP), Balkan Kaplale (Partai Demokrat), Dedi Soetomo (PDIP), dan Abdul Hamid Wahid (PKB). Mereka ditemui Rektor Unair Fasichul Lisan serta beberapa petinggi Fakultas Kedokteran Unair.

Dalam pertemuan itu, Soedigdo mengaku ikut prihatin atas kualitas pendidikan dokter. Betapa tidak. Pendidikan dokter di Indonesia sebetulnya sudah sangat lama berjalan. Namun, kualitasnya masih kalah oleh pendidikan dokter di negara lain yang umumnya masih sangat baru. Baik dari SDM maupun jaringan infrastruktur. "Padahal, para dokter itu nanti menjadi ujung tombak globalisasi," ungkapnya.

Karena itu, kata Soedigdo, banyak alternatif yang dipikirkan DPR untuk memacu mutu. Yakni, menyarankan FK menggandeng rumah sakit umum. Rumah sakit menjadi tempat praktik para calon dokter. "Hal itu sudah banyak dilakukan. Nah, saat ini peran pemerintah tinggal menyediakan peralatan. Semua alat yang dibutuhkan harus segera dipenuhi," tegasnya.

Selain itu, upaya yang bisa memacu pendidikan dokter adalah mendirikan rumah sakit baru. Upaya tersebut juga sudah dirintis beberapa PTN melalui pendirian rumah sakit pendidikan. "Tenaga kerjanya bisa diambilkan dari para dokter itu," jelasnya.

Saat ini, DPR mencari rumusan yang pas untuk bisa mendongkrak mutu dokter. Di antaranya, melalui regulasi khusus.

Wakil Rektor I Unair Muhammad Zainuddin menuturkan, para wakil rakyat memang saat ini sedang menggodok payung hukum untuk memacu pendidikan dokter tersebut. Payung hukum itu diharapkan bisa menjadi rujukan pemecahan masalah pendidikan dokter. Di antaranya, solusi untuk mendongkrak jumlah dokter hingga cara penyebaran dokter yang tepat.

Salah satu masalah yang harus dicarikan solusi, kata dia, adalah soal biaya pendidikan dokter agar lebih terjangkau mahasiswa. Dirjen Dikti Depdiknas menghitung, biaya pendidikan dokter itu mencapai Rp 17 juta setiap tahun. Jumlah tersebut belum ditambah biaya yang harus ditanggung dalam praktikum. "Diharapkan, UU Pendidikan Dokter itu bisa menjadi solusi mahalnya pendidikan," katanya.


Polemik SPMB Memanas

Surya Online
Kamis 6 maret 2008

SURABAYA - Komisi X DPR RI akan memanggil Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasly Djalal PhD menyusul kerasnya polemik penyelenggaraan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) antara perhimpunan SPMB Nusantara dengan Paguyuban Rektor PTN Jatim. Cawe-cawe para wakil rakyat tersebut disampaikan Prof. Dr. dr. Soedigdo Adi, anggota DPR RI dari PDIP.
Menurut Soedigdo, pihaknya sudah mendengar polemik penyelenggaraan SPMB tersebut. Hanya saja, hingga kini DPR belum memikirkan membawa masalah tersebut dalam pembicaraan serius. “Tapi dengan makin dekatnya pelaksanaan SPMB, Komisi X bisa saja memanggil Dirjen Dikti untuk mengklarifikasi hal itu (polemik SPMB),” ujarnya usai sidak ke Unair, Rabu (5/3).
Pemanggilan tersebut dinilai penting agar masyarakat, khususnya calon mahasiswa baru (Maba), tidak resah dengan model dan format baru penerimaan maba.

Langkah DPR ikut cawe-cawe cukup tepat. Pasalnya Dirjen Dikti belum menanggapi surat yang dikirim sembilan PTN di Jatim yang berniat menggelar SPMB sendiri.
Meski Dirjen Dikti belum bersikap, paguyuban rektor PTN di Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Indonesia Timur, sudah menentukan sikap mendukung 'pemberontakan' PTN Jatim. Sikap ini muncul saat pertemuan di Universitas Udayana Bali, Selasa (4/3). Dengan bergabungnya tiga wilayah tersebut, dari 56 PTN di Indonesia, saat ini 24 PTN yang resmi menyatakan keluar dari Perhimpunan SPMB Nusantara. uji


Target RUU Narkoba Dipercepat

Jawa Pos
Senin, 10 Juli 2006

Ada Pasal Khusus Atur Prekursor

JAKARTA - Terbongkarnya sindikat pengiriman bahan baku ekstasi dari Jakarta ke Australia beberapa hari lalu menginspirasi Pansus RUU Narkoba untuk segera menyelesaikan tugasnya. Pansus juga akan membahas khusus obat-obatan yang merupakan prekursor pembuatan ekstasi.

Prekursor adalah bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan obat yang berada dalam pengawasan. Contoh prekursor yang berhasil dibongkar Mabes Polri dalam sindikat Jakarta-Australia itu ialah jutaan tablet pseudoeephedrine HCL. Ini adalah prekursor pembuatan ekstasi karena mengandung amfetamin.

"Kita akan membahas khusus prekursor ini agar tidak ada celah dalam penanganan kasus narkoba," kata Ketua Pansus RUU Narkotika di DPR Prof Sudigdo Adi kemarin.

Dia mengaku, pihaknya telah mempunyai list panjang mengenai prekursor-prekursor yang berpotensi disalahgunakan sebagai bahan pembuat narkotika. "Daftar ini kami susun berdasar temuan BB POM (Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan), BNN (Badan Narkotika Nasional), dan Depkes. Jadi, jangan khawatir bahwa kasus ekspor bahan ekstasi dari essence obat flu bakal bisa dijerat," tandasnya.

Meski demikian, kata Sudigdo, pihaknya masih membutuhkan pertemuan bersama antara BB POM Depkes, Depperindag, dan BNN. "Sebab, tidak mudah untuk langsung melarang peredaran prekursor-prekursor yang kemudian dijadikan bahan narkotika," paparnya.

Dia kemudian mencontohkan sebuah prekursor seperti KMNO4 dan eephedrine. "Dua prekursor tersebut bisa dipakai untuk industri obat, bisa dipakai untuk katalis, sekaligus juga bisa disalahgunakan sebagai bahan baku ekstasi. Tentu tidak mungkin kalau tiba-tiba peredaran eephedrine dilarang, bisa tutup buku pabrik obat yang ada," tandasnya.

Karena itulah, imbuh Sudigdo, pihaknya kini merancang sebuah aturan yang bisa menjerat penyalahgunaannya. "Misalnya, Anda tentu tak mungkin toh membawa satu kilogram valium dipakai sendiri, karena ada indikasi Anda bakal menyalahgunakannya. Nah, kira-kira seperti itulah nanti UU Narkotika tersebut bekerja. Tetap memperbolehkan pengiriman untuk kepentingan yang baik, namun menangkap bagi para penyalahgunanya," urainya.

Daftar para prekursor, lanjutnya, tetap harus dimasukkan untuk mengantisipasi penyalahgunaannya. "Jangan sampai kasus pengiriman bahan baku ekstasi Indonesia-Australia yang dibongkar Mabes Polri dan kepolisian Australia hanya berakhir dengan menjerat para pelakunya dengan UU Bea Cukai dan penyelundupan. Terlalu ringan," tegasnya.

DPR: Home Schooling Harus Ditata

Jurnal Nasional
26 September 2007

PROGRAM pendidikan home schooling yang akhir-akhir ini menjadi fenomena dalam masyarakat harus ditata dengan baik. Program tersebut juga mesti diawasi secara ketat pelaksanaannya, agar tidak timbul generasi masa depan Indonesia yang individualistis, tak mengenal masyarakatnya, dan tak mengenal akar budayanya.
Demikian diungkapkan anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Sudigdo Adi kepada Jurnal Nasional di Jakarta, Selasa (25/9). "Kalau tak diwaspadai, 20-30 tahun lagi bangsa ini akan kehilangan jati dirinya. Lalu, mau dibawa ke mana masa depan bangsa ini?" katanya.
Politikus PDI Perjuangan ini berharap, para orang tua harus menyadari tanggung jawab sosial mereka, dengan mendidik anak-anaknya untuk tidak menjadi egois. Anak-anak harus dididik sebagai anak Indonesia yang memiliki akar budaya Indonesia, memiliki semangat nasional, dan solidaritas sosial yang tinggi.
Pada rapat kerja, senin (24/9), Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo menjelaskan, home schooling merupakan pendidikan informal yang keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. "Bagi siswa home schooling, mesti mengambil ujian Paket A, atau Paket B, atau Paket C," kata Bambang.

DPR: Harus Ada Target Pendidikan Nasional

Jurnal Nasional
19 Nopember 2007

Pemerintah pusat terutama Departemen Pendidikan Nasional menurut Anggota DPR RI komisi X yang salah satunya membidangi pendidikan, Sudigdo Adi sampai saat ini masih belum memiliki rencana jangka panjang untuk menata sistem pendidikan nasional yang komprehensif yang dapat dilaksanakan secara konsisten.
Hal inilah menurut Sudigdo yang menyebabkan sistem pendidikan di Indonesia menjadi stagnan, karena kebijakan yang selalu berubah. Selain itu Sudigdo juga menambahkan pemerintah Indonesia juga tidak memiliki goal atau tujuan, seperti apa misalnya bentuk pendidikan dimasa datang yang harus dicapai, dan berapa lama hal itu harus bisa diwujudkan.
Pendidikan yang baik menurut Sudigdo harus melalui tahapan input, proses dan output. Input di perguran tinggi adalah anak-anak lulusan SMA, yang harus diuji dengan standar yang telah ditetapkan, sehingga bisa didapatkan input yang baik. Setelah itu baru proses pendidikan dilaksanakan oleh perguruan tinggi, yang juga memiliki standar, baru kemudian bisa dihasilkan sarjana yang berkualitas.
"Banyaknya sarjana yang menganggur bisa disebabkan karena dalam prosesnya ada yang tidak benar sehingga dihasilkan sarjana-sarjana yang tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan oleh lapangan pekerjaan," ujar politkus PDIP ini.
Di luar negeri seperti di Jerman, perguruan tinggi menerapkan sistem numerus clausus yang membatasi jumlah mahasiswa. Ini disebabkan karena daya tampung fakultas yang terbatas dan karena pemerintah telah juga mengumumkan bahwa lapangan pekerjaan untuk bidang tertentu hanya sedikit.
"Misalnya di Belanda, mereka tidak segan menutup fakultas kedokteran gigi di universitasnya, karena mereka tahu bahwa lapangan pekerjaan untuk dokter gigi sudah mencukupi dan kalau diteruskan akan over suply, sehingga lulusannya pun akan menanggur," ujarnya.
Rektor Universitas Jakarta Bedjo Suyanto mengatakan, kondisi demikian memang dilematis bagi pemerintah, karena disatu sisi pemerintah ingin memberikan banyak kesempatan bagi penyelenggaran pendidikan maupun masyarakat, sementara disisi lainnya lapangan pekerjaan yang tersedia tidak bisa menampung.
"Saat ini ada sekita 150 perguran tinggi negeri dan lebih dari 3000 perguruan tinggi swasta. Ini membuat pengawasan mutu pendidikan sulit dikontrol," ujar Bedjo.
Untuk itu, kata dia, para penentu kebijakan baik pemerintah maupun DPR harus memiliki komitmen bersama untuk memecahkan persoalan ini

Obat Generik Makin Merana

Jawa Pos
Jumat, 25 Feb 2005

Pasien Enggan, Dokter Ogah
SLIPI -Obat generik semakin merana. Sampai saat ini, masih muncul keengganan menggunakan obat murah dari pemerintah ini. Anggapan obat generik tidak manjur dan minimnya informasi yang diperoleh masyarakat, menjadi salah satu penyebabnya.

Hal itu semakin diperparah dengan keengganan dokter menuliskan resep generik bagi para pasiennya. Padahal, di rumah sakit pemerintah sudah ada aturan yang mewajibkan dokter menggunakan obat generik bagi para pasiennya.

"Sayangnya, aturan itu tidak mempunyai efek hukum. Direkturnya tidak bisa menegur dokter yang memberikan resep non-generik," ujar Sudigdo Adi, anggota Komisi IX DPR RI di sela-sela seminar sehari Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Bagi Masyarakat di Rumah Sakit Kanker Dharmais, siang kemarin.

Menurut dia, aturan yang mewajibkan penggunaan obat generik di rumah sakit pemerintah hanya aturan tertulis tanpa sanksi tegas. "Jika dokter ndablek, paling hanya ditegur. Itu pun, direktur rumah sakit kalau mau mengeluarkan teguran harus izin menteri," imbuhnya.

Karena itu, anggota dewan dari Fraksi PDI Perjuangan ini menyarankan dokter yang enggan memberikan obat generic bagi pasiennya harus di beri sanksi tegas. "Kalau perlu keluarin aja," katanya penuh semangat.

Sebenarnya, pemerintah telah melakukan pemantauan penggunaan obat generik di rumah sakit. "Bentuknya seperti rapor bulanan. Secara berkala ada rapor dari para dokter tentang penggunaan obat generik. Ini terkait dengan kondite kerja mereka," terang Dirjen Pelayanan Farmasi dan Alat Kesehatan Krisna Tirtawijaya di tempat yang sama.

Hanya saja, mekanisme itu sejak beberapa tahun terakhir ini sudah tidak lagi digunakan. Pengawasan penggunaan obat generik di rumah sakit pemerintah saat ini dilakukan oleh Komite Farmasi yang ada di setiap rumah sakit. Sayangnya, pengawasan ini tidak di barengi dengan pemberian sanksi tegas. Akibatnya, biaya kesehatan yang harus di tanggung oleh masyarakat semakin mahal, karena jarang yang memakai obat generik.

"Selisih harga antara obat generik dengan obat paten terpaut jauh," ujar Dani Pratomo, direktur utama PT Indofarma, produsen obat yang secara khusus memproduksi obat generik. Menurut dia, perbandingan harga antara obat generik dan paten bisa mencapai 1 banding 4.

Dani mencontohkan perbandingan harga pada Amoxicilin ukuran 500 miligram. Generik bagi obat ini dipatok seharga Rp 323, sedang obat paten jenis yang sama Rp 2.250. Obat lainnya, Acyclovir 200 miligram Rp 671 (obat paten Rp 4.070), dan Ciprofloxacin Rp 864 (obat paten Rp 8.250). Harga jual obat generik itu akan semakin rendah jika diperuntukan pada pasien pemegang kartu Keluarga Miskin (Gakin).

Dani juga menolak keras anggapan masyarakat bahwa obat generik tidak memiliki daya sembuh yang bagus. "Obat generik di buat dari bahan yang sama. Hanya kemasannya saja yang membedakan antara obat generik dan paten," ujarnya.

Data terakhir yang ada di Departemen Kesehatan menunjukan, penggunaan obat generik tahun lalu hanya sebesar 10,4 persen dari total seluruh pasar obat di Indonesia. Total transaksi obat generik di Indonesia tahun lalu hanya sebesar Rp 2, 1 trilyun dari total pasar obat sebesar Rp 20 triliun.

Tentangan Kian Keras

Jawa Pos
Jumat, 25 Feb 2005

Terkait Perubahan Status RSUD
SLIPI - Polemik perubahan status Rumah Sakit Daerah (RSUD) menjadi perseroan terbatas (PT) kian memanas. Protes keras terkait perubahan status RSUD Pasar Rebo, RSUD Haji, dan RSUD Cengkareng, terus mengalir meski pihak Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta telah mengeluarkan pernyataan tidak akan menswastanisasi tiga RSUD itu.

Alasan menentang perubahan tersebut adalah bahwa mereka khawatir perubahan status membuat akses kesehatan bagi masyarakat kecil semakin tertutup. Bahkan, argumen yang menyatakan perubahan status ketiga rumah sakit itu dibutuhkan guna meningkatkan daya saing, juga dianggap tidak wajar.

Bukan hanya kalangan masyarakat dan DPRD DKI Jakarta yang mempertanyakan kondisi tersebut. Polemik itu juga mendapat reaksi keras dari anggota Komisi IX DPR RI, Sudigdo Adi. "Ngawur itu. Kalau alasan manajerial, sistem manajemennya yang diperbaiki, bukan statusnya yang diubah," tegas Sudigdo Adi, di sela-sela seminar sehari Upaya Meningkatkan Ketersediaan Obat Generik yang Terjangkau Bagi Masyarakat, siang kemarin.

Menurut dia, DPR tetap menolak perubahan itu walau pada dengar pendapat dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta beberapa waktu lalu, berakhir tanpa kesimpulan. "Kami pasti menolaknya," sambung guru besar Universitas Padjajaran itu.

Hal senada diungkapkan oleh Dr Marius Widjajarta, ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Alasannya, perubahan status tidak bisa menjamin manajemen rumah sakit akan membaik. Bahkan, sebagai upaya menentang perubahan status, pihaknya telah mengajukan judicial review (peninjauan kembali) kepada Mahkamah Agung, dua minggu lalu. "Kami seratus persen tidak setuju," ujarnya.

Marius menilai bahwa perubahan status berdampak pada meningkatnya biaya pelayanan kesehatan. "Belum apa-apa mereka sudah mengajukan rancangan kenaikan 400 persen tarif rumah sakit," ungkapnya. Marius juga menganggap alasan perubahan status itu bertujuan untuk memaksimalkan manajemen rumah sakit agar bisa bersaing dengan rumah sakit swasta sama sekali tidak tepat. "Sistem manajemennya yang harus diubah. Nyatanya, banyak rumah sakit swasta yang juga mati," ujarnya.

Marius justru menduga di balik kontroversi itu terdapat oknum-oknum yang hendak memanfaatkan keadaan. Mereka itulah yang diduga akan mengambil alih kepemilikan RSUD. "Dengar-dengar 17 RSUD lainnya juga menyusul menjadi PT," katanya, seraya mempertanyakan peranan Badan Pengawas Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta. "Saya justru pengen tahu apakah Bapeda punya peran nggak ? Selama ini kan yang di kejar Kepala Dinas terus," keluhnya.

Rabu, 20 Agustus 2008

Sudigdo Adi, Mewariskan Idealisme Politik Sang Ayah

Jurnal Nasional
28 September 2007

"ENGKAU sudah menjadi dokter. Kau harus ikut membangun negeri ini. Kalau ada orang yang merusak, minimal kamu tak ikut merusak. Negeri ini terbangun dari tetesan darah dan keringat orang tuamu ini," demikian Sudigdo Adi menceritakan kembali ucapan ayahnya, SH Adiwiyoto ketika dia lulus menjadi dokter. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dari PDI Perjuangan ini sampai merinding ketika mengulangi ucapan ayahnya yang pejuang Pembela Tanah Air (PETA) tersebut.
Sejak usia kelas V Sekolah Rakyat (SR, sekarang SD, red) pada taun 1960, Sudigdo kecil sudah disuruh ayahnya untuk membaca pidato Bung Karno yang berjudul Lautan Pancasila. Jadi, sejak kecil, politikus kelahiran Walikukun, 14 April 1949 ini telah hidup di lingkungan idealisme politik.
"Bahwa kemudian saya terjun ke politik, semata ingin meneruskan idealisme politik orang tua saya, dengan inspirator utama Bung Karno," kata Sudigdo yang ditemui Jurnal Nasional di ruang kerjanya di Jakarta, pekan lalu.
Maka, sejak tahun 1964, dia sudah menjadi anggota Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI). Disusul, pada tahun 1968 menjadi aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Tak heran kalau setahun kemudian, ketika masih kuliah tingkat I di Universitas Airlangga, Surabaya, Sudigdo yang baru berusia 19 tahun telah bergabung dengan Partai nasional Indonesia (PNI).
Doktor jebolan Universitas Padjadjaran (Unpad) ini mengaku, terdorong ke politik karena situasi. Sang ayah yang mantan pejuang kemerdekaan telah menanamkan idealisme politik dalam dirinya. Idealisme untuk ikut serta membangun bangsa dan negeri ini. Sudigdo mengaku, sangat mengagumi idealisme sang ayah yang diwarisinya tersebut. "Orang tua saya tak pernah menyuruh saya menjadi kaya. Melainkan menjadi orang pinter, dengan sekolah yang baik, dan berjuang untuk membantu mengangkat harkat bangsa ini," kata ayah empat orang anak beristrikan seorang doktor bernama Sunarjati ini.
Kini, Sudigdo ingin tinggal menikmati hidup. Warisan idealisme politik sang ayah kini diestafetkan kepada empat orang anaknya. Dan, dia sangat yakin bawa anak-anaknya telah mampu mengemban estafet ini. "Sure! I am very sure!" kata Sudigdo ketika ditanya tentang kesiapan anak-anaknya dalam mengemban idealisme yang akan diwariskannya tersebut. Dia bahkan mengaku, tak akan mewariskan apapun, selain idealisme ini. Dia berharap, anak-anaknya dapat mengembangkan pendidikan yang telah diperoleh.
"Ingat, kalian harus tetap berjuang, karena kalian punya beban hutang moral untuk ikut membantu meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan bangsa ini. Kalian berasal dari keluarga pejuang. Kalian bisa sekolah karena Indonesia merdeka," itulah pesan yang Sudigdo sampaikan kepada anak-anaknya.
Sudigdo menegaskan, dirinya mampu meraih gelar doktor berkat generasi ayahnya yang telah memerdekakan Indonesia. Karenanya, dia merasa memiliki hutang pada bangsa ini. Dia pun berharap, generasi penerusnya memiliki kesadaran serupa. Sebuah warisan yang sangat berharga!


Senin, 28 Juli 2008

PENATAAN ULANG PENDIDIKAN PENDIDIKAN KEDOKTERAN SEBAGAI MODAL MENUJU DOKTER BERKWALITAS INTERNASIONAL SERTA MEMBANGUN MODAL DASAR INDUSTRI BIOMEDIKAL

PENDAHULUAN

Pendidikan kedokteran pada umumnya masih menarik minat calon mahasiswa sehingga setiap propinsi berlomba membuat fakultas kedokteran, hal ini boleh saja dengan catatan harus dilakukan dengan persiapan yang matang. Di India, mereka mempunyai lebih dari 500 Fakultas Kedokteran (FK ). Di Kuba mereka dapat melakukan ekspor ke negara2 Amerika Latin dan Afrika tenaga dokter karena produksi mereka yang berlebihan. Namun demikian pendirian FK baru haruslah memenuhi syarat dan kriteria yang ketat mengingat out-put dari FK nantinya akan berhubungan langsung dengan kepentingan yang paling mendasar manusia yaitu hidup yang sehat. Pendidikan dokter saat ini arahnya adalah mencetak dokter yang dapat melakukan pelayanan primer, serta berorientasi kepada pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat community base dengan bertumpu pada system dokter keluarga.

Pendidikan dokter selain mencetak tenaga professional di dalam bidang pelayanan kesehatan primer yang berorientasi kepada community base, dan juga dengan melakukan pendidikan spesialis dibidang ilmu kedokteran, yang pada saat ini para dokter spesialis semakin dibutuhkan masyarakat seiring dengan meningkatnya kemakmuran di Indonesia. Selain itu perlu digaris bawahi bahwa Bangsa Indonesia juga harus mencetak kader peneliti di bidang ilmu kedokteran dasar dan biologi molekuler, ilmu kedokteran klinis maupun kesehatan masyarakat. Tantangan yang dihadapi adalah kekurangan tenaga pendidkan yang semakin habis dimakan usia, sistem pendidikan yang outputnya secara kwantitatif belum mencukupi kebutuhan dokter umum maupun spesialis di Negara kita serta ketertinggalan ilmu dan teknologi kedokteran oleh tetangga sebelah, dan hal ini juga terjadi bila dibannding dengan Negara Eropa dan Amerika karena berbagai penjuru dunia maju, sementara kita berjalan ditempat. Selain itu Universitas yang mempunyai fakultas kedokteran pada umumnya tidak mempunyai apa yang dikenal dengan “RUMAH SAKIT PENDIDIKAN atau TEACHING HOSPITAL “ Untuk itu akan dicoba mengurai masalah tersebut secara global satu persatu.

TEACHING HOSPITAL ( TH ) atau Rumah sakit pendidikan.

Sesuai namanya maka TH adalah rumah sakit yang tugas utamanya mendidik atau sebagai tempat pendidikan tenaga profesional dibidang kesehatan dan kedokteran. Keberadaan TH ini mutlak diperlukan oleh karena itu misi TH terutama adalah penelitian dan pendidikan, sehingga kwalitas pelayanan menjadi out put yang bagus sesuai standar ilmu dan teknologi. Mengapa demikian ? Oleh karena pelayanan yang didasari dengan penelitian yang baik akan memberikan hasil pelayanan yang sesuai kaidah keilmuan. Hasil penelitian yang diaplikasikan kedalam pendidikan memperkaya khasanah ilmu dibidang yang diteliti, yang akhirnya mendorong pula kemajuan dibidang yang lain, misalnya teknologi kedokteran, pelayanan kesehatan yang bermutu dan terpadu. Keadaan ini bisa tercapai bila suasana akademik di dalam TH itu kondusif dan favourable sehingga mendorong para dosen sekaligus peneliti dapat belajar dari pengalaman dan penelitian mereka yang berdasar pada metodologi ilmiah. Hasil akhirnya akan membuahkan ilmu yang berdasarkan pengetahuan induktif dan deduktif serta didukung data yang akurat ( evidence base). Sehingga akhirnya didalam TH tidak akan ada pemeriksaan yang tidak perlu dilakukan, dan tidak ada tindakan yang mengarah pada profit taking, personal interest dapat dihindarkan. Dengan demikian kerugian penderita atau pasien khususnya dan masyarakat pada umumnya akan sangat dieliminasi.

Secara umum di Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat ( RSUP ) kendali menejemen berada di DEPKES. Keberadaan TH atau rumah sakit pendidikan dapat merupakan landasan pendidikan bagi tenaga dokter, paramedik, menejer rumah sakit , apoteker, dan berbagai pendidikan profesi kesehatan yang lain serta berbagai bidang ilmu yang terkait dengan perumah sakitan dan kesehatan. Saat ini Fakultas kedokteran negeri belum ada yang mempunyai suatu rumah sakit pendidikan, kecuali rumah sakit yang dijadikan lahan pendidikan. Pada umumnya FKN memanfaatkan RSUP kecuali FK-UNAIR yang memanfaatkan RSUD dr. Sutomo di Surabaya dan beberapa FK baru yang mempergunakan RSUD sebagai lahan pendidikan bagi mahasiswa FK mereka.. Pemanfaatan RSUP menjadi lahan tempat pendidikan dokter dan dokter spesialis merupakan hasil kerjasama antara DEPKES dan DEPDIKNAS yang menjadi pola kerjasama antara universitas yang diwakili Dekan Fakultas Kedokteran dengan fihak Rumah Sakit sebagai lahan tempat pedidikan. Sementara itu RSUD ( Rumah Sakit Umum Daerah ) baik ditingkat propinsi maupun daerah Tingkat II, maka kerjasama itu adalah dengan Depdagri dalam hal ini kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati atau walikota, yang diwakili oleh direktur rumah sakit, dan Diknas yang dalam hal ini diwakili rektor atau dekan fakultas kedokteran. Disini komitmen Pemerintah daerah berperan besar sekali terhadap besar kecilnya rumah sakit yang dipakai sebagai lahan pendidikan tersebut.

Sebagaimana diketahui Tridarma perguruan Tinggi adalah Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat sedangkan misi rumah sakit yang dibawah kendali DEPKES mengutamakan Pelayanan Prima, walaupun juga terselip darma pendidikan dan penelitian. Perbedaan orientasi ini tidak menjadi masalah manakala kerjasama yang terjadi itu dilandasi dengan semangat kerjasama yang baik, demi kemajuan Bangsa dan Negara, namun demikian disaat anggaran belanja secara nasional belum mencukupi bagi pelayanan kesehatan maka beban tambahan penyediaan biaya bagi peserta didik terutama peserta didik tingkat dokter umum akan sangat dirasa memberatkan RSUP atau RSUD ditempat para calon dokter dididik kepaniteraan klinik atau sebutan populernya menjalani masa Co-Assistensi.

Walaupun kerjasama ini sudah berjalan lancar namun pada umumnya seringkali kerikil yang timbul dalam hal ini adalah cara pembiayaan mahasiswa kedokteran yang harus bekerja sebagai Co-Assisten.Mereka sering dianggap menghabiskan dana dan perbekalan RSU, apalagi Di RS tidak ada anggaran pendidikan bagi Co Ass, sementara di Diknas anggaran pendidkan Co Ass juga belum nampak. Dalam hal ini sudah tampak di salah satu RS lahan pendidikan Co-Ass dipungut biaya lagi dalam masuk ke rumah sakit, bahkan peralatan kerja pun mereka harus beli misalnya sarung tangan, pakaian operasi dan lain sebagainya. Ini adalah ekses dari terpisahnya pendidikan dokter dengan rumah sakit sebagai wahana pendidikan atau hanya kecemburuan anggaran ?

Berbeda dengan pendidikan dokter umum, pendidikan spesialis dirumah sakit para peserta didik dapat dimanfaatkan dalam pekerjaan pelayanan, dan umumnya oleh karena pendidikan dokter spesialis ini berpola ”magang ” maka tenaga mereka sangat diperlukan dalam pelayanan kesehatan. apalagi dalam keadaan rumah sakit kekurangan tenaga dokter. Di berbagai RSUP atau RSUD yang dijadikan lahan pendidikan banyak mendapat bantuan tenaga peserta pendidikan spesialisasi ini, disisi yang lain peserta pendidikan spesialisasi mendapatkan ketrampilan yang memadai berkat bekerja di rumah sakit di bawah bimbingan seniornya yang pada saat ini banyak tenaga dari DEPKES.

Pendidikan dokter Umum

Pola pendidikan dokter umum dimasa lalu sampai sekarang sudah sering mengalami perubahan. penulis sendiri mengikuti system pendidikan guided study dengan jadwal kuliah dan ujian yang tetap dan padat serta capaian pengetahuan yang digariskan harus dilalui. Sementara di era sebelumnya sistem studi diterapkan secara bebas, sehingga mahasiswa dapat ujian semau gue dalam menentukan waktu ujiannya. Secara umum pendidikan dokter umum dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran baik negeri (FKN) maupun swasta (FKS). Sejak adanya proses reformasi, bermunculan banyak FKN maupun FKS, yang sampai saat ini menurut dirjen dikti FKN dan FKS di Indonesia sudah ada lebih dari 50 fakultas kedokteran. Di Indonesia kurikulum standar yang disusun oleh pemangku pendidikan dokter dosen dulu namanya Consorsium Health Sciences (CHS) sekarang menjadi Kolekium Kedokteran suatu suatu badan non pemerintah yang mengusulkan kepada pemerintah melalui dirjen dikti suatu materi pendidikan minimal yang harus ditempuh oleh calon dokter di Indonesia yaitu ‘ KURIKULUM INTI PENDIDKAN DOKTER INDONESIA “ atau disingkat menjadi KIPDI. Sudah ada KIPDI-I dan perubahannya yaitu KIPDI- II, KIPDI – III, sedang KIPDI – IV sebagai koreksi atas kipdi – kipdi yang lain belum muncul oleh karena belum di sahkan sampai sekarang. Penyusunan program kurikulum ini di dasari semangat ingin membuat dokter yang kompeten, mampu menangani problema kesehatan primer serta dan memecahkan problema kesehatan masyarakat.

Dengan adanya panduan ini diharapkan peningkatan kwantitas lulusan program dokter dan dengan tidak mengurangi kwalitas. Sampai saat ini, prioritas pemerintah masih mencetak dokter umum yang mampu melakukan penanganan kesehatan masyarakat dan pelayan kesehatan primer, sementara pendidikan kearah kader peneliti biomedic belum tertangani dengan baik. Tugas kita sekarang adalah bagaimana kita melakukan stimulasi agar penelitian basic medical sciences meningkat baik secara kwalitatif maupun kwantitatif sehingga bangsa Indonesia tidak hanya menjadi konsumen biological drugs/ biologic modifier yang merupakan end result dari riset ilmu dasar biomedical. Untuk itu maka sebelum masuk ke FKN atau FKS, sebaiknya calon mahasiswa mengikuti suatu ” prae college ” dan sudah minimal mendapat bekal biologi , biologi molekuler sebagai dasar sebelum masuk FK.

Di dalam hal pendidikan kesehatan & kedokteran, menurut hemat penulis perlu penataan kurikulum dan metode pengajaran yang baku sehingga menjadi suatu system yang integrated, serta efisien dengan tidak meninggalkan ciri khas PT(Perguruan Tinggi ) yang sudah ada serta peningkatan kemampuan peserta didik dengan membekali kompetensi yang optimal sebagai bekal untuk menjalankan profesi mereka. Pemikiran pelayanan kesehatan primer berbasis keluarga merupakan idea yang bagus dan sangat ideal, namun demikian untuk mengobah pola sistem dari pelayanan primer dari PUSKESMAS menjadi menjadi sistem dokter keluarga, pencapaian keberhasilannya masih perlu jalan panjang, mengingat bahwa infra struktur kesehatan dan sebaran penduduk tidak ditopang penyebaran tenaga kesehatan dengan baik.

Pada awalnya pendidikan dokter dengan metoda studi bebas ternyata out put-nya sangat rendah, kemudian dengan berkembangnya FKN dan FKS maka sekarang produksi dokter kira-kira 5000 sampai 6000 orang/tahun. Sebelum tahun 70-an, sistemnya masih sangat kontinental, barangkali generasi guru - guru kami dulu yang mengalami masa pendidikan seperti itu. Sampai dengan sekitar akhir 70-an lulusan dokter atau Sarjana kedokteran (Drs. Med) dapat melanjutkan studi menggelar disertasi dan mendapatkan gelar DOKTOR. Artinya, sarjana kedokteran dulu Drs.Med ( Doctorandus medicinae ) setara dengan S-2 sekarang ini.

Saat ini pendidikan didasarkan pada jumlah SKS ( Sistem Kredit Semester ) dan dibedakan antara pendidikan teori sampai menjadi sarjana kedokteran ( S. Ked ) merupakan sarjana dengan strata S-1 yang kalau akan mempertahankan disertasi harus melewati jalur S-2 terlebih dahulu. Untuk menjadi dokter, S.Ked harus menjalani pendidikan profesi kedokteran yang berupa kerja praktek di suatu rumah sakit lahan pendidikan dengan bimbingan dokter senior/ spesialis di bidang ilmunya yang lazim disebut masa Co-assistensi. Setelah lulus dokter, mereka belum boleh praktek. Untuk dapat berpraktek sebagai dokter mereka harus magang lagi selama 6 bulan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Fakultas mereka, kemudian dilakukan ujian lagi untuk mengakhiri proses magangnya. Dan setelah selesai magang, mereka kemudian ujian lagi untuk mendapatkan registrasi dokter yang diselenggarakan oleh KKI. ( Konsil Kedokteran Indonesia ) agar mendapat surat tanda registrasi dokter. Tanpa surat ini dokter tidak boleh menjalankan praktek dokter swasta, atau bekerja sebagai dokter.

Konsep dasar pendidikan dokter adalah menyediakan dokter yang berkompentensi tinggi dalam pelayanan primer dan berbasis kedokteran keluarga serta peduli dan mampu memcahkan problema kedokteran masyarakat. Sistem pembelajaran di FK sekarang ini ada perubahan pola dan paradigma cara mendidik dokter. Ada suatu metode yang baru yang dikembangkan oleh DIKTI, menurut para ahli menejemen pendidikan system baru ini lebih maju dari sistem yang menghasilkan dokter dengan community oriented, dan metoda pembelajaran kelas (clasical ) dengan sistem kredit semester (SKS) yang dianggap Teacher Centered, menjadi integrated student centered berdasarkan KBK ( kurikulum Berbasis Kompetensi ), serta bertujuan mendidik dokter pelayanan primer berorientasi sistem dokter keluarga.

Sistem yang dulu dianggap tidak sesuai dengan kemajuan jaman karena lecture oriented ini di kita sudah menghasilkan puluhan ribu dokter. Sementara sekarang lecturer bertindak sebagai tutor, dan mahasiswa diberikan acuan ( course study guide ) untuk mencari ilmu sendiri dengan jalan diskusi kelompok. System ini berdasarkan KBK dengan cara pembelajaran yang mengikuti sistem di University of British Colombia di Kanada dan Mastricht University di negeri Belanda. Bagi yang anti sistem ini mereka katakan apa gunanya dosen ? Cukup beli kaset dan melihat film dan praktikum dengan boneka orang bisa jadi dokter. Begitulah alasan emosional mereka. Pada negara maju sistem ini dapat berjalan karena struktur perguruan tinggi yang sudah mapan dengan infra struktur tenaga, fasilitas laboratorium dan klinik yang lengkap. Sementara di Indonesia, tenaga, fasilitas rasanya masih jauh dari memadai, sehingga perlu kesiapan yang matang agar dapat mencetak dokter yang kompeten sekaligus calon peneliti di dalam bidang biomedical sciences. Harapan saya jangan korbankan peserta didik yang sudah mengorbankan waktu, tenaga dan materi yang sangat besar, hanya untuk sesuatu yang belum tentu hasilnya bagus buat bangsa dan negara. Rentang masa pendidikan lamanya dikurangi dengan mengurangi beban kalau dibanding masa pendidkan tahun 60-70an, akan tetapi lulus dokter masih harus ditambah dengan magang. Magang ini seseorang sudah berstatus dokter, selama 6 bulan. Alhasil lama pendidikan tetap tetap saja kurang lebih sama dengan kwalitas yang masih perlu diuji lagi kebenarannya apakah benar lebih baik dari lulusan tahun 70-80 an ?

Tenaga Pendidik

Pada umumnya tenaga guru atau dosen Fakultas kedokteran adalah para dokter sendiri, hal ini perlu dimaklumi oleh karena pendidikan dokter yang kita adopsi dari barat ini merupakan pendidikan yang berpola magang. Dari guru diturunkan kepada murid. Pada zaman dulu sebelum tahun 1975, tenaga pendidikan di FKN ( Fakultas Kedokteran Negeri ) pada umumnya merupakan pegawai negeri pusat yang berinduk kepada DEPDIKNAS. Tenaga pendidik dokter sejak adanya Inpres no V/75 dan kebijakan pemerintah tidak menambah formasi PNS di bidang pengajaran pendidikan kedokteran membuat jumlah tenaga pendidik di FKN semakin susut oleh karena adanya tenaga pendidik yang telah purna tugas dan ironisnya seringkali NIP ( Nomer Induk Pegawai ) yang sudah ditinggalkan oleh para pengajar tersebut, tidak kembali ke fakultas yang ditinggalkan.

Pada zaman orde baru, dengan adanya INPRES no V/75 yang mengharuskan dokter bekerja di puskesmas, ada keuntungan yang lain yaitu bahwa pelayanan kesehatan primer di Puskemas dapat menjangkau secara luas dan merata. Selain itu, program pelayanan kesehatan melalui puskesmas ini menjadi ikon keberhasilan Pemerintah Republik Indonesia dalam pelayanan kesehatan masyarakat di level pelayanan primer. Para dokter yang tidak melalui program INPRES di puskesmas tadi, sangat mustahil mengikuti program spesialisasi secara langsung dan menjadi pegawai dengan induk DEPDIKNAS. Akibatnya adalah bahwa pada suatu masa, tidak ada tenaga diknas dididik mejadi pengganti para seniornya menjadi dokter yang spesialis dan menjadi dosen di FKN. Kekurangan tenaga pengajar di klinik ini makin terasa pada saat ini ketika para dosen yang diangkat sekitar tahun 1975 sampai dengan tahun 1980an saat ini banyak yang memasuki masa pensiun. Sehingga saat ini dominasi pengajar kepaniteraan klinik di FKN adalah tenaga DEPKES yang diangkat atau dengan sukarela menjadi tenaga Luar Biasa ( LB ). Honor mereka praktis sangat tidak berarti, sehingga mereka perlu perhatian karena faktanya mereka membantu mendidik dokter dan dokter spesialis di negeri ini. Uang bukan tujuan mereka, tetapi penghargaan atas pengabdian kepada pendidikan dokter yang diharapkan.

Tenaga baru dosen sebagian besar adalah dosen preklinik, tenaga pengajar baru tersebut masuk dalam bidang ilmu kedokteran dasar, tempat basic medical sciences yang bermula dan berkembang mendasari penelitian biomedikal. Namun seperti telah diketahui bahwa ilmu dasar berkembang hanya apabila fasilitas riset tersedia dengan baik. dan pada kenyataannya kita tahu bagaimana fasilitas riset yang tersedia di FKN ? Apalagi di FKS mungkin hanya beberapa saja FKS yang mampu.

Belum lagi kalau kita bicara mengenai fasilitas yang diterima oleh para dokter yang menjadi dosen ilmu kedokteran dasar dan mereka tidak dapat berpraktek sebagai spesialis klinik, oleh karena mereka bukan dokter spesialis dalam bidang klinik tetapi mereka adalah dokter umum. Seperti diketahui secara umum untuk menambah penghasilan dosen yang dokter membuka praktek swasta di sore hari diluar jam kerja mereka. Bagi dosen preklinik mereka memang ahli di bidang ilmu yang digeluti, namun sebagai praktisi medik mereka adalah dokter umum. Kalau mereka harus menambah ilmu lagi, mereka akan merasakan beratnya ‘belajar’ sejak semasa pendidikan sejak S-1 belum lagi kalau harus menempuh sampai dengan S-3. Apabila harus mencapai gelar S-3, maka pengorbanan yang dilakukan bukan sedikit. Pengorbanan waktu, materi dan pengorbanan keluarga. Sementara imbalan menjadi S-3 sebenarnya adalah imbalan kebanggaan, imbalan materi boleh dibilang sama saja dengan pegawai negeri lainnya. Sehingga harap maklum banyak yang tidak mau mengambil program S-3, secara akademik, mereka bukan tidak mampu akan tetapi semata-mata karena tidak bisa membiayai program sekolah tersebut, apalagi kalau membayangkan hasil pendidikan pasca sarjana yang mahal tersebut dikaitkan dengan imbalan atau reward apa yang mereka terima setelah selesai pendidikan, sungguh tidak sebanding dengan biaya, tenaga dan pikiran yang mereka keluarkan.

Dengan demikian kita menjadi mengerti mengapa dunia kedokteran kita semakin ketinggalan di kancah internasional. Pada pendidikan yang lama, para senior kita dapat langsung bekerja di Belanda. Fakultas kedokteran yang tua adalah FK- UI, FK-UNAIR dan FK-UGM di Jawa, dan diluar Jawa patut di catat adalah FK- USU dan FK- UNHAS. Dulu para senior lulusan FK di Indonesia dapat dengan gampang pindah ke Nederland dan bekerja sebagai dokter, angkatan penulis seorang dokter ahli bedah anak hanya dapat bekerja menjadi staf di kantor Red Cross di Belanda.

Tingginya minat orang menjadi dokter dan dokter menjadi spesialis menjadikan pendidikan dokter dan dokter spesialis menjadi komoditi yang diperebutkan oleh banyak orang, sehingga wajar walaupun adanya sumbangan wajib dan sumbangan sukarela bagi mahasiswa FKN atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis ( PPDS ) minat mengikuti program tersebut masih tinggi. Sehingga walaupun departemen atau sub department klinis ditempat peserta PPDS masih akan meminta sumbangan terselubung dengan dalih meningkatkan mutu dan kwalitas pendidikan serta melengkapi peralatan pendidikan dan pelayanan kesehatan guna meningkatkan skill, dalam pendidikan dokter spesialis merupakan phenomena yang terjadi di mana – mana. Keadaan ini rasanya sudah menjadi rahasia umum yang para anggota PANJA sudah mencium baunya tetapi tidak dapat membuktikannya. Kalau ini dibiarkan terus terjadi, maka jangan mengharapkan dokter nantinya menjadi pengabdi kepada kemanusiaan, tetapi mereka secara pelan tetapi pasti akan menjadi “ profesional yang sangat komersial untuk mengembalikan dan sekaligus mencari untung dari modal yang dikeluarkan. Ini bagaimana nantinya aspek moralitas para muda yang kebetulan berprofesi dokter, sumbangan apa yang mereka berikan kepada kepentingan Bangsa dan Negara, belum lagi bila ada pelanggaran etika karena nafsu profit taking ? Hal ini disebabkan kita juga yang lalai memberikan arahan bagi pendidikan kedokteran. Jalan apa yang harus ditempuh dan yang dapat dilakukan para dokter yang harus membayar mahal pendidikan tambahan mereka ? Sementara pendidik di bidang ilmu klinik menghadapi dilema yang sama, oleh karena kebijakan rekruitmen spesialis hanya boleh untuk mereka yang sudah menjalani program INPRES. Akibatnya sekarang dapat dilihat bahwa para pengajar bergelar professor dengan keahlian bidang klinis semakin sedikit oleh karena jarang sekali penerimaan calon pengajar dengan NIP diknas yang bisa langsung menjalani pendidikan spesialisasi. Dalam waktu 10 sampai 15 tahun yang akan datang, jumlah professor klinis pasti sudah sangat berkurang. Yang beruntung adalah FKS, mereka masih dapat memanfaatkan tenaga GB yang masih mau dan mampu beraktifitas sebagai dosen di FKS.

Selain itu adakah suatu usaha bagaimana penambahan dan atau regenerasi tenaga dosen atau pengajar di FKN ? Pada saat ini tenaga pengajar klinik sudah hampir 90 % bukan tenaga diknas tetapi depkes. Mereka belum mendapat reward yang sesuai dengan pengorbanan mereka, oleh karena hambatan administratif. Mungkinkah DIKNAS mengangkat mereka menjadi CLINICAL PROFESSOR seperti di Amerika misalnya? Tehnik memberikan pensiun bagi Guru Besar yang awalnya pada usia 65 tahun, kemudian diperpanjang lagi sampai usia 70 bagi seorang professor, bukan merupakan jalan keluar yang bijak. Ini hanya membuat regerasi menjadi mandeg, dan tidak banyak membantu penambahan ahli dalam bidang ilmunya.

PERUBAHAN KURIKULUM DAN ORIENTASI PENDIDIKAN DOKTER

Sesudah adanya gema dan perluasan WTO, kemudian adanya AFTA maka juga terjadi perubahan pola pendidikan dokter di Indonesia. Kalau pada awalnya kita menganut sistem pendidikan yang diadopsi dari Eropa Barat terutama Belanda, sekarang kita lebih mendekati pola Anglo - Saxon, dalam hal ini adalah negara2 Commonwealth dan Amerika Serikat. Akibat perubahan ini maka sekarang sulit dokter di Indonesia mendapatkan pengakuan kesetaraan di Eropa pada umumnya atau di negeri Belanda khususnya terutama oleh karena perbedaan system pendidikan dan system hukum mereka yang sudah menjadi persatuan uni eropa ( EU ) PADAHAL SEBELUM TAHUN 60 AN, BANYAK PARA SENIOR PINDAH KE EROPA BARAT DAN BEKERJA SEBAGAI DOKTER DISANA KARENA MENGANTONGI IJAZAH FK negeri dari Indonesia. Apakah ini tanda penurunan kwalitas dari generasi dokter sekarang dibandingkan para seniornya? Kalau ini benar, maka sungguh sesuatu yang sangat menyedihkan, bukan kemajuan tetapi kemunduran kwalitas dokter di Indonesia setelah pendidikan kedokteran berjalan lebih dari 100 tahun. Cita-cita menjadi tuan rumah yang terhormat dan menjadi tamu yang bermartabat sungguh perlu kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia.

Perubahan orientasi dan mind-set apa yang telah mendorong pula perubahan pola proses pendidikan, dan untuk itu bagaimana arah pengembangan pendidikan nasional di bidang Indonesia. Akan dikemanakan pendidikan kedokteran ? Benarkah dengan pola yang berubah ini menghasilkan dokter yang lebih baik ? Waktu dan masyarakat yang akan menguji oleh karena evaluasi terbuka terhadap sistem lama yang sudah berhasil selama sekian puluh tahun tidak dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat tidak tahu perbedaan mutu yang terjadi. Pada zaman antar 1960 an sampai dengan awal 1990 an calon mahasiswa (CAMA) lolos dari serangkaian seleksi dan diterima masuk di FKN atau FKS secara umum mereka akan medapatkan materi pedidikan dasar umum, ilmu kedokteran dasar, ilmu kedokteran klinik, pengenalan klinik dan pendidikan co-assistensi di rumah sakit yang sekarang disebut pendidikan profesi untuk dapat disebut sebagai dokter. Sistem ini merupakan suatu “ the nature of medical education “, hanya saja sesuai perkembangan zaman dan tuntutan masyakat selalu ada penyesuaian sejalan dengan kemajuan zaman.

Belum lagi kesulitan yang dihadapi dunia pendidikan kedokteran yang didalam mengatur dirinya masih banyak silang pendapat, menejemen pendidikan secara umum di tingkat pusat juga belum ditangani dengan serius. Karena Diknas memberikan porsi dan treatment mirip dengan negara asing dalam menangani tenaga dokter dan pendidikan dokter. Mohon maaf dengan berat hati terpaksa saya kemukakan bahwa setelah kita mendeka hampir 70 tahun, ternyata kita hanya seperti tukang fotokopi suatu metoda atau sistem atau ilmu dan teknologi, bukan menciptakan sistem bagi bangsa kita sendiri. Pendidkikan dokter secara Undang-Undang, diserahkan kepada Konsil kedokteran Indonesia dan MKKI ( Majelis Kolekium Kedokteran Indonesia ). Apakah ini langkah tepat ? perlu pendalaman yang lebih serius. Selanjutnya sebagai ilustrasi, dirjen dikti yang mengurus lebih dari 2500 perguruan tinggi negeri dan swasta termasuk diantaranya 60 Fakultas kedokteran, tidak mempunyai seorang direktur yang membawahi bidang pendidikan kedokteran dan kesehatan. Padahal ilmu kedokteran sudah berkembang hampir 150 tahun di negeri ini, pendidikan dokter adalah pendidikan Science and arts of the healing process dalam bidang kemanusiaan dan kedokteran ini sudah berhasil dan berguna banyak bagi bangsa dan negara. Akibat dari hal ini maka terjadi pemecahan masalah melalu panitia yang bersifat ad hoc dan akan dipengaruhi oleh konsultan yang diundang. Kemana orientasi pendidikan kedokteran kita ? System Anglosaxon atau ke arah Continental ? dampaknya perubahan orientasi ini akan sangat mempengaruhi pola dan proses dan hasil pembelajaran serta fasilitas yang diperlukan.

PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Pendidikan dokter spesialis lebih merana lagi, tidak jelas harus menginduk kemana akhirnya mereka menginduk pada perkumpulan profesi, dan mereka dianggap pendidikan profesi. Sekarang mereka disetarakan dengan pendidik yang setara S-2. Pendidikan mereka rata- rata minimal 3,5 tahun dan pada bidang spesialis tertentu dapat mencapai 5 sampai 6 tahun walaupun silabus yang dikeluarkan umumnya menyatakan lama pendidikan 4 tahun. Persoalan memanjangnya waktu pendidikan ini perlu difahami oleh karena pendidikan dokter spesialis adalah pendidikan ilmu kedokteran dasar di bidang spesialisasi yang ditempuh dan dilakukan pendalaman ilmu ditambah peningkatan skill yang harus memenuhi suatu standar tertentu untuk dapat disebut spesialis.

Pada saat ini berkembang banyak bidang spesialisasi dan beberapa sub - spesialisasi di bidang kedokteran. Perkembangan spesialisasi pada bidang kedokteran sangat pesat dan luas, baik pada ilmu klinik maupun ilmu dasar yang mencakup ilmu biologi molekuler, biokimia, Terlebih setelah masuknya teknologi mikroelektronika, nuklir, pencitraan dalam dan sebagainya. Pendidikan dokter spesialis sampai saat ini sepanjang pengetahuan penulis belum ada anggaran yang diberikan baik oleh diknas maupun depkes. Akibatnya setiap sentra mencari jalan sendiri-sendiri untuk menjalankan pendidikan serta meningkatkan kwalitas pendidikan mereka. Ini awal malapetaka, awal dari erosi moral dan etika yang akan membayangi generasi muda dokter dimasa yang akan datang. Pada beberapa daerah PEMDA berinisiatif memberikan beasiswa pada calon peserta didik dengan harapan mereka balik ke daerah yang mengirimnya. Dari departemen misalnya Hankam, Polri mereka membiayai peserta didiknya.

Selama ini, pendidikan dokter spesialis hanya dilakukan di FKN, dan pada FKN baru yang akan mendirikan pendidikan spesialis harus mengikuti prosedur yang ditentukan oleh perhimpunan ahli dan melalui kolekium dokter spesialis kemudian baru ijin dari dikti. Dalam pengalaman penulis selaku ketua bidang pendidkan dan profesi dokter spesialis kulit di Indonesia, dua universitas di Sumatera sampai harus menunggu lebih dari 15 tahun baru diperkenankan mendidik spesialis kulit dan kelamin oleh bapak angkatnya sebuah universitas di Jakarta. Bukan main. Ini contoh kalau kita hanya memikir sempit, ilmu dan teknologi harus minimal setingkat dengan standar universitas di Jawa, akibatnya pendidikan spesialis menjadi terhambat sementara tidak ada lembaga yang berani dan bisa melakukan koreksi hal tersebut.

Problema yang dihadapi sekarang adalah bahwa oleh karena pendidikan spesialis hanya dilakukan di FKN, maka kapasitasnya sangat terbatas, out-put spesialis juga menjadi sangat rendah, ditambah dengan biaya yang tidak resmi yang harus dikeluarkan peserta didik, akhirnya para spesialis baru cenderung mengumpul di kota besar atau kembali ke kota besar setelah masa tugas wajib kerja sarjana dilaluinya. Mengapa demikian ? Mungkin mereka para dokter spesialis baru juga manusia, ingin menikmati fasilitas kota besar dan mengharapkan praktek maju serta bisa mengembalikan modal yang dihabiskan semasa pendidikan, serta ingin anak mereka mendapat pendidikan yang lebih baik dibandingkan kalau mereka jauh dari kota besar. Keadaan seperti ini karena sistem perencanaan tenaga dokter yang belum baik, sehingga perlu diperbaiki. Perhimpunan dokter spesialis perlu diingatkan bahwa selain membangun diri sendiri para spesialis diharapkan mempunyai komitmen moral untuk kebutuhan bangsa dan negara akan spesialis sangat mendesak, apalagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas dibidang jasa termasuk jasa kesehatan. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan harus dan penanaman Nation & Character Building harus dilakukan secara berkesinambungan. Nation kita belum selesai proses nya, kita masih sangat heterogen, inilah perlunya semangat kebangsaan dipertebal dan diperjelas.

Cara pendidikan spesialis harus juga direformasi, dengan tujuan meningkatkan kwantitas tetapi tidak mengurangi mutu dan kemampuan mereka. Penyediaan fasilitas dan sistem yang terbuka akan sangat membantu bangsa dan negara dari serbuan dokter spesialis asing. Pelibatan RS yang mempunyai tenaga cukup baik, dengan akreditasi yang obyektif serta ujian nasional bagi spesialis dapat menerobos kebuntuan dan hambatan peningkatan kwalitas dokter spesialis di negeri kita. Demikian pula pendidikan spesialis sebagai calon pengajar di FKN maupun FKS, perlu mendapat perhatian lebih baik dengan memberikan fasilitas pendidikan, beasiswa serta kemudahan pengangkatan mereka menjadi dosen

SOLUSI MASALAH

Masalah pendidikan dokter dan tenaga kesehatan harus diselesaikan dengan cara obyektif dan transparan melibatkan penentu kebijakan, pelaku pendidikan dan wakil rakyat. Penambahan fakultas kedokteran perlu dipikirkan secara matang, mengingat kebutuhan masyarakat, pengembangan mutu, dan penyedian fasilitas pendidkan bukan hal yang murah. Belum lagi penyediaan tenaga dosen yang berkwalitas, berdedikasi serta mempunyai semangat meneliti. Penyedian tenaga dosen pada FKN sekarang inipun tersendat-sendat walaupun katanya ratio dosen mahasiswa sudah cukup. Pernyataan kecukupan ini perlu pendalaman lebih jauh mengingat dosen di FK tidak hanya mengajar S-1 tetapi juga program spesialis dan program S-3 serta kepaniteraan klinik dan mengerjakan penelitian. Sangat disadari bahwa dalam masa pembangunan di Indonesia ini, kita memerlukan tenaga kesehatan yang mampu dan mumpuni, sehingga FK dituntut meningkatkan out put hasil pendidikan mereka yaitu tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan tanpa mengurangi mutu, bahkan penambahan kurikulum bahasa asing tertentu agar bisa menjadi komoditi tenaga trampil di masa perdagangan bebas bidang jasa kesehatan nantinya. Perhimpunan Dokter Spesialis diharapkan berfikir jauh kedepan bagi kepentingan bangsa dan negara. Pertumbuhan jumlah penduduk seperti deret ukur, sementara penambahan dokter spesialis merambat seperti deret hitung. Apa yang terjadi apabila negeri kita nanti dipenuhi dokter spesialis dari luar negeri karena kita terikat dengan perjanjian internasional ? Kita ingin mengejar standar amerika ? boleh dan harus, akan tetapi kita juga harus sadar bahwa kondisi tanah air belum sesuai dengan kondisi mereka, maka disinilah peran cendikiawan untuk melakukan penyesuaian dan pengaturan agar kita mampu mengejar ketinggalan. Ingatlah pepatah Kalau tak ada rotan akar pun jadi, sambil menggunakan akar kita mencari rotan bukan mimpi mempunyai rotan. Seyogyanya perhimpunan spesialis memacu pertambahan jumlah lulusan dengan tidak mengurangi persyaratan minimal untuk menjadi spesialis.

Selain itu perlu perhatian dari pemerintah kucuran dan pendidikan dalam bidang ini, sehingga perluasan fasilitas pendidikan kesehatan bertambah banyak dan meningkat mutu riset yang dihasilkan. Dan dilakukan pemberian prioritas pada FKN yang mampu menjadi lokomotif pendidikan kedokteran yang berorientasi pada penelitian dan pengembangan ilmu, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Di dalam rencana DIKTI akan membuat suatu ” Teaching Hospital ” sebanyak 5 buah, untuk itu saya sarankan agar 3 universitas di Jawa ( FK – UI, FK – UNAIR, FK – UGM ) dan 2 diluar jawa ( ( FK –USU dan FK – UNHAS ) mendapat prioritas pertama. Mereka patut mendapat fasilitas rumah sakit pendidikan dan pusat penelitian bio medic, sehingga impian go international dapat tercapai. Memang pendidikan tinggi bukan hal yang murah, untuk itu harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Kemudian diharapkan kelima universitas tersebut terutama FK nya mampu menjadi lokomotif penggerak kemajuan penelitian biomedik, menemukan ilmu baru dan melakukan dissiminasi ilmunya serta mereka mampu mencetak peneliti handal dibidang biomedical, serta mencetak dokter dan spesialis berstandar internasional.

Kalau semua FK ingin go internasional jangan - jangan malah hanya menjadi ilusi saja, kita perlu berpijak di alam nyata sebab pemerintah belum mampu menyediakan fasilitas dan infrastrukturnya. Pendidikan dokter di Indonesia dimulai dari pendidikan mantri cacar, artinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan saat itu. Tentang pendirian FK baru di daerah perlu mendapat dukungan yang memadai, dan tentunya harus pula persiapan yang matang agar tidak terjadi cerita tentang Fakultas Kedodoran bukan Fakultas Kedokteran. Pendirian Rumah sakit pendidikan yang tujuan utamanya adalah stimulasi penelitian yang dijadikan dasar pendidikan serta tempat pelayanan kesehatan terpadu yang bermutu perlu segera direalisasikan.

Perlu disadari bahwa CAMA fakultas kedokteran dapat dibagi menjadi tiga kelompok, pertama mereka yang termasuk golongan jenius. Anak jenius ini tidak banyak, perlu didorong menjadi peneliti dan dosen yang handal. Kedua adalah mereka yang upper average, ini bisa menjadi spesialis dan dosen pembimbing di rumah sakit kemudian mereka yang terakhir golongan average. Mereka disiapkan nenjadi pelaku pelayanan kesehatan atau praktisi, sehingga nanti ide tentang rumah sakit berjenjang dapat dilakukan dengan benar. Ide rumah sakit berjenjang adalah manifestasi ide tentang rumah sakit rujukan baik yang berada di pusat, propinsi maupun di eks karesidenan. Di ujungnya adalah rumah sakit daerah tingkat II tipe C, dan puskesmas.

Suatu alternatif penghematan kepada pemerintah yang dapat dilakukan dalam pembuatan teaching hospital dan mengejar ketinggalan dalam iptek biomedikal adalah :

1. RSUP milik pemerintah pusat yang menjadi lahan pendidikan ditingkatkan statusnya menjadi Rumah Sakit Pendidikan ( Teaching Hospital ), Pendidikan dokter umum dapat dilakukan disini akan tetapi jumlah mahasiswanya dibatasi agar tidak terjadi perebutan kasus antara dokter calon spesialis yang menjalankan pendidikan dan calon dokter umum yang akan disiapkan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di level premier. Atau hanya mahasiswa benar2 dipilih hanya mereka yang jenius bisa masuk di FKN yang lahan pendidikannya di RSUP yang menjadi lahan pedidikan spesialis. Mahasiswa yang bisa masuk di FK disini dipersiapkan menjadi tenaga pengajar bidang klinik dan peneliti yang mampu melakukan riset terpadu dalam bidang biomedikal sciences.

2. Untuk melaksanakan hal ini,maka FK perlu ditata dan dan dilakukan penilaian atau audit untuk melihat kemampuan sumber daya , sumber dana dan fasilitas penujangnya untuk maju kedepan. Stratifikasi berdasarkan kwalitas dan fasilitas serta kemampuan itu dijadiakan dasar penunjukan sebuah FK Buntuk menjadi lokomotif kemajuan iptek biomedical di tanah air. Ini dilakukan semata-mata demi efisiensi anggaran nasional diknas agar tepat sasaran, Fk yang belum mendapat kesempatan harus antri untuk mendapat kesempatan tersebut.

3. Dalam Hal ini Depkes sudah melakukan klsifikasi rumah sakit dibawah kendali mereka yaitu RS tipe A,B,C, D dan Puskesmas.Klasifikasi tersebut dapat diadaptasi bagi FK di IndonesiaPembagian RS tipe dibagi dua yaitu rumah sakit RS tipe B pendidikan dan RS tipe non Pendidikan.

4. Penggunaan RSUD tipeB non pendidikan ditingkatkan menjadi RS lahan pendidikan bagi dokter umum dan pendidikan spesialis dengan supervisi dan akreditasi oleh badan akreditasi atau oleh FK yang sudah mampu menjadi pengampu pendidikan untuk mendidik bidang spesialisasi tertentu. Disini pendidikan dokter umum menjadi tujuan utama, sedang pendidikan spesialis adalah bertujuan agar membantu dan melengkapi pendidikan spesialisasi sehingga percepatan penambahan tenaga dokter spesialis. Pendidikan dokter umum dilakukan dengan melibatkan PUSKESMAS disekeliling RSUD tersebut sebagai ajang pembelajaran PUBLIC HEALTH SERVICES.

5. Mendirikan satu laboratorium biomedik atau Sentra Penelitian Biomedical yang lengkap di RSP atau RS lahan pendidikan yang digabungkan dengan fungsi sentra diagnostik Agar dapat melakukan stimulasi dan motivasi timbulnya pusat penelitian secara nasional.

6. Dengan menghimpun tenaga profesional dibidang biomedical, biologi, biokimia dan Mikrobiologi, virologi, Farmasi, Immunologi, Molecular Biology dengan tujuan penelitian dasar menuju kearah produksi bilogical modifier atau biological drugs. Bibit ini sudah ada di Indonesia tersebar diberbagai departemen, Misalnya LITBANGKES milik milik depkes, Lembaga Veteriner di Surabaya, Biofarma, dan pada beberapa PTN negeri seperti UGM, ITB, IPB, UNAIR dengan Pusat riset penyakit tropisnya.

7. Dengan mengejar ketertinggalan teknologi biomedik di tanah air didalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Perguruan tinggi diharuskan memberikan kontribusinya, mereka harus bisa bekerjasama secara tim, menentukan arah penelitian dasar yang mana yang segera bisa diaplikasikan dan dijual ke industri. Sumbangan dari FKN dan PTN berupa tenaga, maupun pemikiran dan kemampuan teknologi diarahkan sedemikian rupa agar proyek penelitian ilmu dasar dapat berkembang sesuai galur yang telah ditetapkan. Disinilah semangat gotong royong diperlukan dengan harapan biaya serendah mungkin, hasil menjadi semaksimal mungkin.

8. Pendidikan spesialis tidak hanya di FKN, tetapi diseluruh rumah sakit yang memenuhi syarat tertentu setelah diakreditasi secara obyektif tenaga, fasilitas dan kemampuan calon pendidik spesialisnya. Ujian nasional bagi dokter spesialis dan dokter umum sebagai alat ”BENCH MARKING kompetensi dibidang ilmu kedokteran Selain itu perlu juga perlu dilakukan restrukturisasi sistem dan struktur organisasi pendidikan dokter yang rumah sakitnya tunduk pada depkes sementara dekan sebagai penanggung jawab pendidikan kepada diknas.

9. Sebagai langkah crash program mengalih tugaskan para dokter yang menjadi dosen LB ( luar biasa ) tenaga DEPKES di RSP atau RS lahan pendidikan, menjadi dosen tetap bagi FK dan diberikan reward jabatan akademis sesuai prestasi mereka. Proses pengalihan dosen LB menjadi Dosen tetap di dilakukan setelah melalui proses penyaringan yang meliputi kemampuan mengajar, kemampuan meneliti dan loyalitas dan dedikasi terhadap ilmu yang diembannya. Harus diusahakan adanya pos anggaran pendidikan dokter dan dokter spesialis,

10. Untuk jangka panjang harus ada suatu UU pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan yang mengatur soal tatalaksana, pembiayaan dan sistem penempatan tenaga. Bila perlu dipisahkan depdiknas menjadi dua yaitu Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan dasar dan Kebudayaan. Demikian pula fungsi rumah sakit pendidikan, rumah sakit lahan pendidikan serta pendidkan dalam bidang profesi kesehatan misalnya perawat/nurse, penilik kesehatan, bidan dan lain sebagainya perlu aturan yang jelas kemana induknya. Disini diperlukan kerjasama yang baik antara MENKES dan MENDIKNAS selaku sesama pembantu presiden, dalam membangun sistem pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya dan mendorongnya menjadi suatu tenaga dorongan lahirnya industri biomedical enginering yang sebenarnya dapat kita capai. Optimisme ini didasari bahwa bibit industri biomedikal ini sudah ada di berbagai Fakultas misalnya Fakultas kedokteran, Kedokteran hewan, Pertanian Farmasi serta industri BUMN misalnya Biofarma, Kimia Farma, Indo Farma.