Senin, 28 Juli 2008

PENATAAN ULANG PENDIDIKAN PENDIDIKAN KEDOKTERAN SEBAGAI MODAL MENUJU DOKTER BERKWALITAS INTERNASIONAL SERTA MEMBANGUN MODAL DASAR INDUSTRI BIOMEDIKAL

PENDAHULUAN

Pendidikan kedokteran pada umumnya masih menarik minat calon mahasiswa sehingga setiap propinsi berlomba membuat fakultas kedokteran, hal ini boleh saja dengan catatan harus dilakukan dengan persiapan yang matang. Di India, mereka mempunyai lebih dari 500 Fakultas Kedokteran (FK ). Di Kuba mereka dapat melakukan ekspor ke negara2 Amerika Latin dan Afrika tenaga dokter karena produksi mereka yang berlebihan. Namun demikian pendirian FK baru haruslah memenuhi syarat dan kriteria yang ketat mengingat out-put dari FK nantinya akan berhubungan langsung dengan kepentingan yang paling mendasar manusia yaitu hidup yang sehat. Pendidikan dokter saat ini arahnya adalah mencetak dokter yang dapat melakukan pelayanan primer, serta berorientasi kepada pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat community base dengan bertumpu pada system dokter keluarga.

Pendidikan dokter selain mencetak tenaga professional di dalam bidang pelayanan kesehatan primer yang berorientasi kepada community base, dan juga dengan melakukan pendidikan spesialis dibidang ilmu kedokteran, yang pada saat ini para dokter spesialis semakin dibutuhkan masyarakat seiring dengan meningkatnya kemakmuran di Indonesia. Selain itu perlu digaris bawahi bahwa Bangsa Indonesia juga harus mencetak kader peneliti di bidang ilmu kedokteran dasar dan biologi molekuler, ilmu kedokteran klinis maupun kesehatan masyarakat. Tantangan yang dihadapi adalah kekurangan tenaga pendidkan yang semakin habis dimakan usia, sistem pendidikan yang outputnya secara kwantitatif belum mencukupi kebutuhan dokter umum maupun spesialis di Negara kita serta ketertinggalan ilmu dan teknologi kedokteran oleh tetangga sebelah, dan hal ini juga terjadi bila dibannding dengan Negara Eropa dan Amerika karena berbagai penjuru dunia maju, sementara kita berjalan ditempat. Selain itu Universitas yang mempunyai fakultas kedokteran pada umumnya tidak mempunyai apa yang dikenal dengan “RUMAH SAKIT PENDIDIKAN atau TEACHING HOSPITAL “ Untuk itu akan dicoba mengurai masalah tersebut secara global satu persatu.

TEACHING HOSPITAL ( TH ) atau Rumah sakit pendidikan.

Sesuai namanya maka TH adalah rumah sakit yang tugas utamanya mendidik atau sebagai tempat pendidikan tenaga profesional dibidang kesehatan dan kedokteran. Keberadaan TH ini mutlak diperlukan oleh karena itu misi TH terutama adalah penelitian dan pendidikan, sehingga kwalitas pelayanan menjadi out put yang bagus sesuai standar ilmu dan teknologi. Mengapa demikian ? Oleh karena pelayanan yang didasari dengan penelitian yang baik akan memberikan hasil pelayanan yang sesuai kaidah keilmuan. Hasil penelitian yang diaplikasikan kedalam pendidikan memperkaya khasanah ilmu dibidang yang diteliti, yang akhirnya mendorong pula kemajuan dibidang yang lain, misalnya teknologi kedokteran, pelayanan kesehatan yang bermutu dan terpadu. Keadaan ini bisa tercapai bila suasana akademik di dalam TH itu kondusif dan favourable sehingga mendorong para dosen sekaligus peneliti dapat belajar dari pengalaman dan penelitian mereka yang berdasar pada metodologi ilmiah. Hasil akhirnya akan membuahkan ilmu yang berdasarkan pengetahuan induktif dan deduktif serta didukung data yang akurat ( evidence base). Sehingga akhirnya didalam TH tidak akan ada pemeriksaan yang tidak perlu dilakukan, dan tidak ada tindakan yang mengarah pada profit taking, personal interest dapat dihindarkan. Dengan demikian kerugian penderita atau pasien khususnya dan masyarakat pada umumnya akan sangat dieliminasi.

Secara umum di Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat ( RSUP ) kendali menejemen berada di DEPKES. Keberadaan TH atau rumah sakit pendidikan dapat merupakan landasan pendidikan bagi tenaga dokter, paramedik, menejer rumah sakit , apoteker, dan berbagai pendidikan profesi kesehatan yang lain serta berbagai bidang ilmu yang terkait dengan perumah sakitan dan kesehatan. Saat ini Fakultas kedokteran negeri belum ada yang mempunyai suatu rumah sakit pendidikan, kecuali rumah sakit yang dijadikan lahan pendidikan. Pada umumnya FKN memanfaatkan RSUP kecuali FK-UNAIR yang memanfaatkan RSUD dr. Sutomo di Surabaya dan beberapa FK baru yang mempergunakan RSUD sebagai lahan pendidikan bagi mahasiswa FK mereka.. Pemanfaatan RSUP menjadi lahan tempat pendidikan dokter dan dokter spesialis merupakan hasil kerjasama antara DEPKES dan DEPDIKNAS yang menjadi pola kerjasama antara universitas yang diwakili Dekan Fakultas Kedokteran dengan fihak Rumah Sakit sebagai lahan tempat pedidikan. Sementara itu RSUD ( Rumah Sakit Umum Daerah ) baik ditingkat propinsi maupun daerah Tingkat II, maka kerjasama itu adalah dengan Depdagri dalam hal ini kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati atau walikota, yang diwakili oleh direktur rumah sakit, dan Diknas yang dalam hal ini diwakili rektor atau dekan fakultas kedokteran. Disini komitmen Pemerintah daerah berperan besar sekali terhadap besar kecilnya rumah sakit yang dipakai sebagai lahan pendidikan tersebut.

Sebagaimana diketahui Tridarma perguruan Tinggi adalah Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat sedangkan misi rumah sakit yang dibawah kendali DEPKES mengutamakan Pelayanan Prima, walaupun juga terselip darma pendidikan dan penelitian. Perbedaan orientasi ini tidak menjadi masalah manakala kerjasama yang terjadi itu dilandasi dengan semangat kerjasama yang baik, demi kemajuan Bangsa dan Negara, namun demikian disaat anggaran belanja secara nasional belum mencukupi bagi pelayanan kesehatan maka beban tambahan penyediaan biaya bagi peserta didik terutama peserta didik tingkat dokter umum akan sangat dirasa memberatkan RSUP atau RSUD ditempat para calon dokter dididik kepaniteraan klinik atau sebutan populernya menjalani masa Co-Assistensi.

Walaupun kerjasama ini sudah berjalan lancar namun pada umumnya seringkali kerikil yang timbul dalam hal ini adalah cara pembiayaan mahasiswa kedokteran yang harus bekerja sebagai Co-Assisten.Mereka sering dianggap menghabiskan dana dan perbekalan RSU, apalagi Di RS tidak ada anggaran pendidikan bagi Co Ass, sementara di Diknas anggaran pendidkan Co Ass juga belum nampak. Dalam hal ini sudah tampak di salah satu RS lahan pendidikan Co-Ass dipungut biaya lagi dalam masuk ke rumah sakit, bahkan peralatan kerja pun mereka harus beli misalnya sarung tangan, pakaian operasi dan lain sebagainya. Ini adalah ekses dari terpisahnya pendidikan dokter dengan rumah sakit sebagai wahana pendidikan atau hanya kecemburuan anggaran ?

Berbeda dengan pendidikan dokter umum, pendidikan spesialis dirumah sakit para peserta didik dapat dimanfaatkan dalam pekerjaan pelayanan, dan umumnya oleh karena pendidikan dokter spesialis ini berpola ”magang ” maka tenaga mereka sangat diperlukan dalam pelayanan kesehatan. apalagi dalam keadaan rumah sakit kekurangan tenaga dokter. Di berbagai RSUP atau RSUD yang dijadikan lahan pendidikan banyak mendapat bantuan tenaga peserta pendidikan spesialisasi ini, disisi yang lain peserta pendidikan spesialisasi mendapatkan ketrampilan yang memadai berkat bekerja di rumah sakit di bawah bimbingan seniornya yang pada saat ini banyak tenaga dari DEPKES.

Pendidikan dokter Umum

Pola pendidikan dokter umum dimasa lalu sampai sekarang sudah sering mengalami perubahan. penulis sendiri mengikuti system pendidikan guided study dengan jadwal kuliah dan ujian yang tetap dan padat serta capaian pengetahuan yang digariskan harus dilalui. Sementara di era sebelumnya sistem studi diterapkan secara bebas, sehingga mahasiswa dapat ujian semau gue dalam menentukan waktu ujiannya. Secara umum pendidikan dokter umum dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran baik negeri (FKN) maupun swasta (FKS). Sejak adanya proses reformasi, bermunculan banyak FKN maupun FKS, yang sampai saat ini menurut dirjen dikti FKN dan FKS di Indonesia sudah ada lebih dari 50 fakultas kedokteran. Di Indonesia kurikulum standar yang disusun oleh pemangku pendidikan dokter dosen dulu namanya Consorsium Health Sciences (CHS) sekarang menjadi Kolekium Kedokteran suatu suatu badan non pemerintah yang mengusulkan kepada pemerintah melalui dirjen dikti suatu materi pendidikan minimal yang harus ditempuh oleh calon dokter di Indonesia yaitu ‘ KURIKULUM INTI PENDIDKAN DOKTER INDONESIA “ atau disingkat menjadi KIPDI. Sudah ada KIPDI-I dan perubahannya yaitu KIPDI- II, KIPDI – III, sedang KIPDI – IV sebagai koreksi atas kipdi – kipdi yang lain belum muncul oleh karena belum di sahkan sampai sekarang. Penyusunan program kurikulum ini di dasari semangat ingin membuat dokter yang kompeten, mampu menangani problema kesehatan primer serta dan memecahkan problema kesehatan masyarakat.

Dengan adanya panduan ini diharapkan peningkatan kwantitas lulusan program dokter dan dengan tidak mengurangi kwalitas. Sampai saat ini, prioritas pemerintah masih mencetak dokter umum yang mampu melakukan penanganan kesehatan masyarakat dan pelayan kesehatan primer, sementara pendidikan kearah kader peneliti biomedic belum tertangani dengan baik. Tugas kita sekarang adalah bagaimana kita melakukan stimulasi agar penelitian basic medical sciences meningkat baik secara kwalitatif maupun kwantitatif sehingga bangsa Indonesia tidak hanya menjadi konsumen biological drugs/ biologic modifier yang merupakan end result dari riset ilmu dasar biomedical. Untuk itu maka sebelum masuk ke FKN atau FKS, sebaiknya calon mahasiswa mengikuti suatu ” prae college ” dan sudah minimal mendapat bekal biologi , biologi molekuler sebagai dasar sebelum masuk FK.

Di dalam hal pendidikan kesehatan & kedokteran, menurut hemat penulis perlu penataan kurikulum dan metode pengajaran yang baku sehingga menjadi suatu system yang integrated, serta efisien dengan tidak meninggalkan ciri khas PT(Perguruan Tinggi ) yang sudah ada serta peningkatan kemampuan peserta didik dengan membekali kompetensi yang optimal sebagai bekal untuk menjalankan profesi mereka. Pemikiran pelayanan kesehatan primer berbasis keluarga merupakan idea yang bagus dan sangat ideal, namun demikian untuk mengobah pola sistem dari pelayanan primer dari PUSKESMAS menjadi menjadi sistem dokter keluarga, pencapaian keberhasilannya masih perlu jalan panjang, mengingat bahwa infra struktur kesehatan dan sebaran penduduk tidak ditopang penyebaran tenaga kesehatan dengan baik.

Pada awalnya pendidikan dokter dengan metoda studi bebas ternyata out put-nya sangat rendah, kemudian dengan berkembangnya FKN dan FKS maka sekarang produksi dokter kira-kira 5000 sampai 6000 orang/tahun. Sebelum tahun 70-an, sistemnya masih sangat kontinental, barangkali generasi guru - guru kami dulu yang mengalami masa pendidikan seperti itu. Sampai dengan sekitar akhir 70-an lulusan dokter atau Sarjana kedokteran (Drs. Med) dapat melanjutkan studi menggelar disertasi dan mendapatkan gelar DOKTOR. Artinya, sarjana kedokteran dulu Drs.Med ( Doctorandus medicinae ) setara dengan S-2 sekarang ini.

Saat ini pendidikan didasarkan pada jumlah SKS ( Sistem Kredit Semester ) dan dibedakan antara pendidikan teori sampai menjadi sarjana kedokteran ( S. Ked ) merupakan sarjana dengan strata S-1 yang kalau akan mempertahankan disertasi harus melewati jalur S-2 terlebih dahulu. Untuk menjadi dokter, S.Ked harus menjalani pendidikan profesi kedokteran yang berupa kerja praktek di suatu rumah sakit lahan pendidikan dengan bimbingan dokter senior/ spesialis di bidang ilmunya yang lazim disebut masa Co-assistensi. Setelah lulus dokter, mereka belum boleh praktek. Untuk dapat berpraktek sebagai dokter mereka harus magang lagi selama 6 bulan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Fakultas mereka, kemudian dilakukan ujian lagi untuk mengakhiri proses magangnya. Dan setelah selesai magang, mereka kemudian ujian lagi untuk mendapatkan registrasi dokter yang diselenggarakan oleh KKI. ( Konsil Kedokteran Indonesia ) agar mendapat surat tanda registrasi dokter. Tanpa surat ini dokter tidak boleh menjalankan praktek dokter swasta, atau bekerja sebagai dokter.

Konsep dasar pendidikan dokter adalah menyediakan dokter yang berkompentensi tinggi dalam pelayanan primer dan berbasis kedokteran keluarga serta peduli dan mampu memcahkan problema kedokteran masyarakat. Sistem pembelajaran di FK sekarang ini ada perubahan pola dan paradigma cara mendidik dokter. Ada suatu metode yang baru yang dikembangkan oleh DIKTI, menurut para ahli menejemen pendidikan system baru ini lebih maju dari sistem yang menghasilkan dokter dengan community oriented, dan metoda pembelajaran kelas (clasical ) dengan sistem kredit semester (SKS) yang dianggap Teacher Centered, menjadi integrated student centered berdasarkan KBK ( kurikulum Berbasis Kompetensi ), serta bertujuan mendidik dokter pelayanan primer berorientasi sistem dokter keluarga.

Sistem yang dulu dianggap tidak sesuai dengan kemajuan jaman karena lecture oriented ini di kita sudah menghasilkan puluhan ribu dokter. Sementara sekarang lecturer bertindak sebagai tutor, dan mahasiswa diberikan acuan ( course study guide ) untuk mencari ilmu sendiri dengan jalan diskusi kelompok. System ini berdasarkan KBK dengan cara pembelajaran yang mengikuti sistem di University of British Colombia di Kanada dan Mastricht University di negeri Belanda. Bagi yang anti sistem ini mereka katakan apa gunanya dosen ? Cukup beli kaset dan melihat film dan praktikum dengan boneka orang bisa jadi dokter. Begitulah alasan emosional mereka. Pada negara maju sistem ini dapat berjalan karena struktur perguruan tinggi yang sudah mapan dengan infra struktur tenaga, fasilitas laboratorium dan klinik yang lengkap. Sementara di Indonesia, tenaga, fasilitas rasanya masih jauh dari memadai, sehingga perlu kesiapan yang matang agar dapat mencetak dokter yang kompeten sekaligus calon peneliti di dalam bidang biomedical sciences. Harapan saya jangan korbankan peserta didik yang sudah mengorbankan waktu, tenaga dan materi yang sangat besar, hanya untuk sesuatu yang belum tentu hasilnya bagus buat bangsa dan negara. Rentang masa pendidikan lamanya dikurangi dengan mengurangi beban kalau dibanding masa pendidkan tahun 60-70an, akan tetapi lulus dokter masih harus ditambah dengan magang. Magang ini seseorang sudah berstatus dokter, selama 6 bulan. Alhasil lama pendidikan tetap tetap saja kurang lebih sama dengan kwalitas yang masih perlu diuji lagi kebenarannya apakah benar lebih baik dari lulusan tahun 70-80 an ?

Tenaga Pendidik

Pada umumnya tenaga guru atau dosen Fakultas kedokteran adalah para dokter sendiri, hal ini perlu dimaklumi oleh karena pendidikan dokter yang kita adopsi dari barat ini merupakan pendidikan yang berpola magang. Dari guru diturunkan kepada murid. Pada zaman dulu sebelum tahun 1975, tenaga pendidikan di FKN ( Fakultas Kedokteran Negeri ) pada umumnya merupakan pegawai negeri pusat yang berinduk kepada DEPDIKNAS. Tenaga pendidik dokter sejak adanya Inpres no V/75 dan kebijakan pemerintah tidak menambah formasi PNS di bidang pengajaran pendidikan kedokteran membuat jumlah tenaga pendidik di FKN semakin susut oleh karena adanya tenaga pendidik yang telah purna tugas dan ironisnya seringkali NIP ( Nomer Induk Pegawai ) yang sudah ditinggalkan oleh para pengajar tersebut, tidak kembali ke fakultas yang ditinggalkan.

Pada zaman orde baru, dengan adanya INPRES no V/75 yang mengharuskan dokter bekerja di puskesmas, ada keuntungan yang lain yaitu bahwa pelayanan kesehatan primer di Puskemas dapat menjangkau secara luas dan merata. Selain itu, program pelayanan kesehatan melalui puskesmas ini menjadi ikon keberhasilan Pemerintah Republik Indonesia dalam pelayanan kesehatan masyarakat di level pelayanan primer. Para dokter yang tidak melalui program INPRES di puskesmas tadi, sangat mustahil mengikuti program spesialisasi secara langsung dan menjadi pegawai dengan induk DEPDIKNAS. Akibatnya adalah bahwa pada suatu masa, tidak ada tenaga diknas dididik mejadi pengganti para seniornya menjadi dokter yang spesialis dan menjadi dosen di FKN. Kekurangan tenaga pengajar di klinik ini makin terasa pada saat ini ketika para dosen yang diangkat sekitar tahun 1975 sampai dengan tahun 1980an saat ini banyak yang memasuki masa pensiun. Sehingga saat ini dominasi pengajar kepaniteraan klinik di FKN adalah tenaga DEPKES yang diangkat atau dengan sukarela menjadi tenaga Luar Biasa ( LB ). Honor mereka praktis sangat tidak berarti, sehingga mereka perlu perhatian karena faktanya mereka membantu mendidik dokter dan dokter spesialis di negeri ini. Uang bukan tujuan mereka, tetapi penghargaan atas pengabdian kepada pendidikan dokter yang diharapkan.

Tenaga baru dosen sebagian besar adalah dosen preklinik, tenaga pengajar baru tersebut masuk dalam bidang ilmu kedokteran dasar, tempat basic medical sciences yang bermula dan berkembang mendasari penelitian biomedikal. Namun seperti telah diketahui bahwa ilmu dasar berkembang hanya apabila fasilitas riset tersedia dengan baik. dan pada kenyataannya kita tahu bagaimana fasilitas riset yang tersedia di FKN ? Apalagi di FKS mungkin hanya beberapa saja FKS yang mampu.

Belum lagi kalau kita bicara mengenai fasilitas yang diterima oleh para dokter yang menjadi dosen ilmu kedokteran dasar dan mereka tidak dapat berpraktek sebagai spesialis klinik, oleh karena mereka bukan dokter spesialis dalam bidang klinik tetapi mereka adalah dokter umum. Seperti diketahui secara umum untuk menambah penghasilan dosen yang dokter membuka praktek swasta di sore hari diluar jam kerja mereka. Bagi dosen preklinik mereka memang ahli di bidang ilmu yang digeluti, namun sebagai praktisi medik mereka adalah dokter umum. Kalau mereka harus menambah ilmu lagi, mereka akan merasakan beratnya ‘belajar’ sejak semasa pendidikan sejak S-1 belum lagi kalau harus menempuh sampai dengan S-3. Apabila harus mencapai gelar S-3, maka pengorbanan yang dilakukan bukan sedikit. Pengorbanan waktu, materi dan pengorbanan keluarga. Sementara imbalan menjadi S-3 sebenarnya adalah imbalan kebanggaan, imbalan materi boleh dibilang sama saja dengan pegawai negeri lainnya. Sehingga harap maklum banyak yang tidak mau mengambil program S-3, secara akademik, mereka bukan tidak mampu akan tetapi semata-mata karena tidak bisa membiayai program sekolah tersebut, apalagi kalau membayangkan hasil pendidikan pasca sarjana yang mahal tersebut dikaitkan dengan imbalan atau reward apa yang mereka terima setelah selesai pendidikan, sungguh tidak sebanding dengan biaya, tenaga dan pikiran yang mereka keluarkan.

Dengan demikian kita menjadi mengerti mengapa dunia kedokteran kita semakin ketinggalan di kancah internasional. Pada pendidikan yang lama, para senior kita dapat langsung bekerja di Belanda. Fakultas kedokteran yang tua adalah FK- UI, FK-UNAIR dan FK-UGM di Jawa, dan diluar Jawa patut di catat adalah FK- USU dan FK- UNHAS. Dulu para senior lulusan FK di Indonesia dapat dengan gampang pindah ke Nederland dan bekerja sebagai dokter, angkatan penulis seorang dokter ahli bedah anak hanya dapat bekerja menjadi staf di kantor Red Cross di Belanda.

Tingginya minat orang menjadi dokter dan dokter menjadi spesialis menjadikan pendidikan dokter dan dokter spesialis menjadi komoditi yang diperebutkan oleh banyak orang, sehingga wajar walaupun adanya sumbangan wajib dan sumbangan sukarela bagi mahasiswa FKN atau peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis ( PPDS ) minat mengikuti program tersebut masih tinggi. Sehingga walaupun departemen atau sub department klinis ditempat peserta PPDS masih akan meminta sumbangan terselubung dengan dalih meningkatkan mutu dan kwalitas pendidikan serta melengkapi peralatan pendidikan dan pelayanan kesehatan guna meningkatkan skill, dalam pendidikan dokter spesialis merupakan phenomena yang terjadi di mana – mana. Keadaan ini rasanya sudah menjadi rahasia umum yang para anggota PANJA sudah mencium baunya tetapi tidak dapat membuktikannya. Kalau ini dibiarkan terus terjadi, maka jangan mengharapkan dokter nantinya menjadi pengabdi kepada kemanusiaan, tetapi mereka secara pelan tetapi pasti akan menjadi “ profesional yang sangat komersial untuk mengembalikan dan sekaligus mencari untung dari modal yang dikeluarkan. Ini bagaimana nantinya aspek moralitas para muda yang kebetulan berprofesi dokter, sumbangan apa yang mereka berikan kepada kepentingan Bangsa dan Negara, belum lagi bila ada pelanggaran etika karena nafsu profit taking ? Hal ini disebabkan kita juga yang lalai memberikan arahan bagi pendidikan kedokteran. Jalan apa yang harus ditempuh dan yang dapat dilakukan para dokter yang harus membayar mahal pendidikan tambahan mereka ? Sementara pendidik di bidang ilmu klinik menghadapi dilema yang sama, oleh karena kebijakan rekruitmen spesialis hanya boleh untuk mereka yang sudah menjalani program INPRES. Akibatnya sekarang dapat dilihat bahwa para pengajar bergelar professor dengan keahlian bidang klinis semakin sedikit oleh karena jarang sekali penerimaan calon pengajar dengan NIP diknas yang bisa langsung menjalani pendidikan spesialisasi. Dalam waktu 10 sampai 15 tahun yang akan datang, jumlah professor klinis pasti sudah sangat berkurang. Yang beruntung adalah FKS, mereka masih dapat memanfaatkan tenaga GB yang masih mau dan mampu beraktifitas sebagai dosen di FKS.

Selain itu adakah suatu usaha bagaimana penambahan dan atau regenerasi tenaga dosen atau pengajar di FKN ? Pada saat ini tenaga pengajar klinik sudah hampir 90 % bukan tenaga diknas tetapi depkes. Mereka belum mendapat reward yang sesuai dengan pengorbanan mereka, oleh karena hambatan administratif. Mungkinkah DIKNAS mengangkat mereka menjadi CLINICAL PROFESSOR seperti di Amerika misalnya? Tehnik memberikan pensiun bagi Guru Besar yang awalnya pada usia 65 tahun, kemudian diperpanjang lagi sampai usia 70 bagi seorang professor, bukan merupakan jalan keluar yang bijak. Ini hanya membuat regerasi menjadi mandeg, dan tidak banyak membantu penambahan ahli dalam bidang ilmunya.

PERUBAHAN KURIKULUM DAN ORIENTASI PENDIDIKAN DOKTER

Sesudah adanya gema dan perluasan WTO, kemudian adanya AFTA maka juga terjadi perubahan pola pendidikan dokter di Indonesia. Kalau pada awalnya kita menganut sistem pendidikan yang diadopsi dari Eropa Barat terutama Belanda, sekarang kita lebih mendekati pola Anglo - Saxon, dalam hal ini adalah negara2 Commonwealth dan Amerika Serikat. Akibat perubahan ini maka sekarang sulit dokter di Indonesia mendapatkan pengakuan kesetaraan di Eropa pada umumnya atau di negeri Belanda khususnya terutama oleh karena perbedaan system pendidikan dan system hukum mereka yang sudah menjadi persatuan uni eropa ( EU ) PADAHAL SEBELUM TAHUN 60 AN, BANYAK PARA SENIOR PINDAH KE EROPA BARAT DAN BEKERJA SEBAGAI DOKTER DISANA KARENA MENGANTONGI IJAZAH FK negeri dari Indonesia. Apakah ini tanda penurunan kwalitas dari generasi dokter sekarang dibandingkan para seniornya? Kalau ini benar, maka sungguh sesuatu yang sangat menyedihkan, bukan kemajuan tetapi kemunduran kwalitas dokter di Indonesia setelah pendidikan kedokteran berjalan lebih dari 100 tahun. Cita-cita menjadi tuan rumah yang terhormat dan menjadi tamu yang bermartabat sungguh perlu kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia.

Perubahan orientasi dan mind-set apa yang telah mendorong pula perubahan pola proses pendidikan, dan untuk itu bagaimana arah pengembangan pendidikan nasional di bidang Indonesia. Akan dikemanakan pendidikan kedokteran ? Benarkah dengan pola yang berubah ini menghasilkan dokter yang lebih baik ? Waktu dan masyarakat yang akan menguji oleh karena evaluasi terbuka terhadap sistem lama yang sudah berhasil selama sekian puluh tahun tidak dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat tidak tahu perbedaan mutu yang terjadi. Pada zaman antar 1960 an sampai dengan awal 1990 an calon mahasiswa (CAMA) lolos dari serangkaian seleksi dan diterima masuk di FKN atau FKS secara umum mereka akan medapatkan materi pedidikan dasar umum, ilmu kedokteran dasar, ilmu kedokteran klinik, pengenalan klinik dan pendidikan co-assistensi di rumah sakit yang sekarang disebut pendidikan profesi untuk dapat disebut sebagai dokter. Sistem ini merupakan suatu “ the nature of medical education “, hanya saja sesuai perkembangan zaman dan tuntutan masyakat selalu ada penyesuaian sejalan dengan kemajuan zaman.

Belum lagi kesulitan yang dihadapi dunia pendidikan kedokteran yang didalam mengatur dirinya masih banyak silang pendapat, menejemen pendidikan secara umum di tingkat pusat juga belum ditangani dengan serius. Karena Diknas memberikan porsi dan treatment mirip dengan negara asing dalam menangani tenaga dokter dan pendidikan dokter. Mohon maaf dengan berat hati terpaksa saya kemukakan bahwa setelah kita mendeka hampir 70 tahun, ternyata kita hanya seperti tukang fotokopi suatu metoda atau sistem atau ilmu dan teknologi, bukan menciptakan sistem bagi bangsa kita sendiri. Pendidkikan dokter secara Undang-Undang, diserahkan kepada Konsil kedokteran Indonesia dan MKKI ( Majelis Kolekium Kedokteran Indonesia ). Apakah ini langkah tepat ? perlu pendalaman yang lebih serius. Selanjutnya sebagai ilustrasi, dirjen dikti yang mengurus lebih dari 2500 perguruan tinggi negeri dan swasta termasuk diantaranya 60 Fakultas kedokteran, tidak mempunyai seorang direktur yang membawahi bidang pendidikan kedokteran dan kesehatan. Padahal ilmu kedokteran sudah berkembang hampir 150 tahun di negeri ini, pendidikan dokter adalah pendidikan Science and arts of the healing process dalam bidang kemanusiaan dan kedokteran ini sudah berhasil dan berguna banyak bagi bangsa dan negara. Akibat dari hal ini maka terjadi pemecahan masalah melalu panitia yang bersifat ad hoc dan akan dipengaruhi oleh konsultan yang diundang. Kemana orientasi pendidikan kedokteran kita ? System Anglosaxon atau ke arah Continental ? dampaknya perubahan orientasi ini akan sangat mempengaruhi pola dan proses dan hasil pembelajaran serta fasilitas yang diperlukan.

PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS

Pendidikan dokter spesialis lebih merana lagi, tidak jelas harus menginduk kemana akhirnya mereka menginduk pada perkumpulan profesi, dan mereka dianggap pendidikan profesi. Sekarang mereka disetarakan dengan pendidik yang setara S-2. Pendidikan mereka rata- rata minimal 3,5 tahun dan pada bidang spesialis tertentu dapat mencapai 5 sampai 6 tahun walaupun silabus yang dikeluarkan umumnya menyatakan lama pendidikan 4 tahun. Persoalan memanjangnya waktu pendidikan ini perlu difahami oleh karena pendidikan dokter spesialis adalah pendidikan ilmu kedokteran dasar di bidang spesialisasi yang ditempuh dan dilakukan pendalaman ilmu ditambah peningkatan skill yang harus memenuhi suatu standar tertentu untuk dapat disebut spesialis.

Pada saat ini berkembang banyak bidang spesialisasi dan beberapa sub - spesialisasi di bidang kedokteran. Perkembangan spesialisasi pada bidang kedokteran sangat pesat dan luas, baik pada ilmu klinik maupun ilmu dasar yang mencakup ilmu biologi molekuler, biokimia, Terlebih setelah masuknya teknologi mikroelektronika, nuklir, pencitraan dalam dan sebagainya. Pendidikan dokter spesialis sampai saat ini sepanjang pengetahuan penulis belum ada anggaran yang diberikan baik oleh diknas maupun depkes. Akibatnya setiap sentra mencari jalan sendiri-sendiri untuk menjalankan pendidikan serta meningkatkan kwalitas pendidikan mereka. Ini awal malapetaka, awal dari erosi moral dan etika yang akan membayangi generasi muda dokter dimasa yang akan datang. Pada beberapa daerah PEMDA berinisiatif memberikan beasiswa pada calon peserta didik dengan harapan mereka balik ke daerah yang mengirimnya. Dari departemen misalnya Hankam, Polri mereka membiayai peserta didiknya.

Selama ini, pendidikan dokter spesialis hanya dilakukan di FKN, dan pada FKN baru yang akan mendirikan pendidikan spesialis harus mengikuti prosedur yang ditentukan oleh perhimpunan ahli dan melalui kolekium dokter spesialis kemudian baru ijin dari dikti. Dalam pengalaman penulis selaku ketua bidang pendidkan dan profesi dokter spesialis kulit di Indonesia, dua universitas di Sumatera sampai harus menunggu lebih dari 15 tahun baru diperkenankan mendidik spesialis kulit dan kelamin oleh bapak angkatnya sebuah universitas di Jakarta. Bukan main. Ini contoh kalau kita hanya memikir sempit, ilmu dan teknologi harus minimal setingkat dengan standar universitas di Jawa, akibatnya pendidikan spesialis menjadi terhambat sementara tidak ada lembaga yang berani dan bisa melakukan koreksi hal tersebut.

Problema yang dihadapi sekarang adalah bahwa oleh karena pendidikan spesialis hanya dilakukan di FKN, maka kapasitasnya sangat terbatas, out-put spesialis juga menjadi sangat rendah, ditambah dengan biaya yang tidak resmi yang harus dikeluarkan peserta didik, akhirnya para spesialis baru cenderung mengumpul di kota besar atau kembali ke kota besar setelah masa tugas wajib kerja sarjana dilaluinya. Mengapa demikian ? Mungkin mereka para dokter spesialis baru juga manusia, ingin menikmati fasilitas kota besar dan mengharapkan praktek maju serta bisa mengembalikan modal yang dihabiskan semasa pendidikan, serta ingin anak mereka mendapat pendidikan yang lebih baik dibandingkan kalau mereka jauh dari kota besar. Keadaan seperti ini karena sistem perencanaan tenaga dokter yang belum baik, sehingga perlu diperbaiki. Perhimpunan dokter spesialis perlu diingatkan bahwa selain membangun diri sendiri para spesialis diharapkan mempunyai komitmen moral untuk kebutuhan bangsa dan negara akan spesialis sangat mendesak, apalagi dengan diberlakukannya perdagangan bebas dibidang jasa termasuk jasa kesehatan. Untuk itu pendidikan kewarganegaraan harus dan penanaman Nation & Character Building harus dilakukan secara berkesinambungan. Nation kita belum selesai proses nya, kita masih sangat heterogen, inilah perlunya semangat kebangsaan dipertebal dan diperjelas.

Cara pendidikan spesialis harus juga direformasi, dengan tujuan meningkatkan kwantitas tetapi tidak mengurangi mutu dan kemampuan mereka. Penyediaan fasilitas dan sistem yang terbuka akan sangat membantu bangsa dan negara dari serbuan dokter spesialis asing. Pelibatan RS yang mempunyai tenaga cukup baik, dengan akreditasi yang obyektif serta ujian nasional bagi spesialis dapat menerobos kebuntuan dan hambatan peningkatan kwalitas dokter spesialis di negeri kita. Demikian pula pendidikan spesialis sebagai calon pengajar di FKN maupun FKS, perlu mendapat perhatian lebih baik dengan memberikan fasilitas pendidikan, beasiswa serta kemudahan pengangkatan mereka menjadi dosen

SOLUSI MASALAH

Masalah pendidikan dokter dan tenaga kesehatan harus diselesaikan dengan cara obyektif dan transparan melibatkan penentu kebijakan, pelaku pendidikan dan wakil rakyat. Penambahan fakultas kedokteran perlu dipikirkan secara matang, mengingat kebutuhan masyarakat, pengembangan mutu, dan penyedian fasilitas pendidkan bukan hal yang murah. Belum lagi penyediaan tenaga dosen yang berkwalitas, berdedikasi serta mempunyai semangat meneliti. Penyedian tenaga dosen pada FKN sekarang inipun tersendat-sendat walaupun katanya ratio dosen mahasiswa sudah cukup. Pernyataan kecukupan ini perlu pendalaman lebih jauh mengingat dosen di FK tidak hanya mengajar S-1 tetapi juga program spesialis dan program S-3 serta kepaniteraan klinik dan mengerjakan penelitian. Sangat disadari bahwa dalam masa pembangunan di Indonesia ini, kita memerlukan tenaga kesehatan yang mampu dan mumpuni, sehingga FK dituntut meningkatkan out put hasil pendidikan mereka yaitu tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan tanpa mengurangi mutu, bahkan penambahan kurikulum bahasa asing tertentu agar bisa menjadi komoditi tenaga trampil di masa perdagangan bebas bidang jasa kesehatan nantinya. Perhimpunan Dokter Spesialis diharapkan berfikir jauh kedepan bagi kepentingan bangsa dan negara. Pertumbuhan jumlah penduduk seperti deret ukur, sementara penambahan dokter spesialis merambat seperti deret hitung. Apa yang terjadi apabila negeri kita nanti dipenuhi dokter spesialis dari luar negeri karena kita terikat dengan perjanjian internasional ? Kita ingin mengejar standar amerika ? boleh dan harus, akan tetapi kita juga harus sadar bahwa kondisi tanah air belum sesuai dengan kondisi mereka, maka disinilah peran cendikiawan untuk melakukan penyesuaian dan pengaturan agar kita mampu mengejar ketinggalan. Ingatlah pepatah Kalau tak ada rotan akar pun jadi, sambil menggunakan akar kita mencari rotan bukan mimpi mempunyai rotan. Seyogyanya perhimpunan spesialis memacu pertambahan jumlah lulusan dengan tidak mengurangi persyaratan minimal untuk menjadi spesialis.

Selain itu perlu perhatian dari pemerintah kucuran dan pendidikan dalam bidang ini, sehingga perluasan fasilitas pendidikan kesehatan bertambah banyak dan meningkat mutu riset yang dihasilkan. Dan dilakukan pemberian prioritas pada FKN yang mampu menjadi lokomotif pendidikan kedokteran yang berorientasi pada penelitian dan pengembangan ilmu, pendidikan dan pelayanan kesehatan. Di dalam rencana DIKTI akan membuat suatu ” Teaching Hospital ” sebanyak 5 buah, untuk itu saya sarankan agar 3 universitas di Jawa ( FK – UI, FK – UNAIR, FK – UGM ) dan 2 diluar jawa ( ( FK –USU dan FK – UNHAS ) mendapat prioritas pertama. Mereka patut mendapat fasilitas rumah sakit pendidikan dan pusat penelitian bio medic, sehingga impian go international dapat tercapai. Memang pendidikan tinggi bukan hal yang murah, untuk itu harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Kemudian diharapkan kelima universitas tersebut terutama FK nya mampu menjadi lokomotif penggerak kemajuan penelitian biomedik, menemukan ilmu baru dan melakukan dissiminasi ilmunya serta mereka mampu mencetak peneliti handal dibidang biomedical, serta mencetak dokter dan spesialis berstandar internasional.

Kalau semua FK ingin go internasional jangan - jangan malah hanya menjadi ilusi saja, kita perlu berpijak di alam nyata sebab pemerintah belum mampu menyediakan fasilitas dan infrastrukturnya. Pendidikan dokter di Indonesia dimulai dari pendidikan mantri cacar, artinya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lapangan saat itu. Tentang pendirian FK baru di daerah perlu mendapat dukungan yang memadai, dan tentunya harus pula persiapan yang matang agar tidak terjadi cerita tentang Fakultas Kedodoran bukan Fakultas Kedokteran. Pendirian Rumah sakit pendidikan yang tujuan utamanya adalah stimulasi penelitian yang dijadikan dasar pendidikan serta tempat pelayanan kesehatan terpadu yang bermutu perlu segera direalisasikan.

Perlu disadari bahwa CAMA fakultas kedokteran dapat dibagi menjadi tiga kelompok, pertama mereka yang termasuk golongan jenius. Anak jenius ini tidak banyak, perlu didorong menjadi peneliti dan dosen yang handal. Kedua adalah mereka yang upper average, ini bisa menjadi spesialis dan dosen pembimbing di rumah sakit kemudian mereka yang terakhir golongan average. Mereka disiapkan nenjadi pelaku pelayanan kesehatan atau praktisi, sehingga nanti ide tentang rumah sakit berjenjang dapat dilakukan dengan benar. Ide rumah sakit berjenjang adalah manifestasi ide tentang rumah sakit rujukan baik yang berada di pusat, propinsi maupun di eks karesidenan. Di ujungnya adalah rumah sakit daerah tingkat II tipe C, dan puskesmas.

Suatu alternatif penghematan kepada pemerintah yang dapat dilakukan dalam pembuatan teaching hospital dan mengejar ketinggalan dalam iptek biomedikal adalah :

1. RSUP milik pemerintah pusat yang menjadi lahan pendidikan ditingkatkan statusnya menjadi Rumah Sakit Pendidikan ( Teaching Hospital ), Pendidikan dokter umum dapat dilakukan disini akan tetapi jumlah mahasiswanya dibatasi agar tidak terjadi perebutan kasus antara dokter calon spesialis yang menjalankan pendidikan dan calon dokter umum yang akan disiapkan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan di level premier. Atau hanya mahasiswa benar2 dipilih hanya mereka yang jenius bisa masuk di FKN yang lahan pendidikannya di RSUP yang menjadi lahan pedidikan spesialis. Mahasiswa yang bisa masuk di FK disini dipersiapkan menjadi tenaga pengajar bidang klinik dan peneliti yang mampu melakukan riset terpadu dalam bidang biomedikal sciences.

2. Untuk melaksanakan hal ini,maka FK perlu ditata dan dan dilakukan penilaian atau audit untuk melihat kemampuan sumber daya , sumber dana dan fasilitas penujangnya untuk maju kedepan. Stratifikasi berdasarkan kwalitas dan fasilitas serta kemampuan itu dijadiakan dasar penunjukan sebuah FK Buntuk menjadi lokomotif kemajuan iptek biomedical di tanah air. Ini dilakukan semata-mata demi efisiensi anggaran nasional diknas agar tepat sasaran, Fk yang belum mendapat kesempatan harus antri untuk mendapat kesempatan tersebut.

3. Dalam Hal ini Depkes sudah melakukan klsifikasi rumah sakit dibawah kendali mereka yaitu RS tipe A,B,C, D dan Puskesmas.Klasifikasi tersebut dapat diadaptasi bagi FK di IndonesiaPembagian RS tipe dibagi dua yaitu rumah sakit RS tipe B pendidikan dan RS tipe non Pendidikan.

4. Penggunaan RSUD tipeB non pendidikan ditingkatkan menjadi RS lahan pendidikan bagi dokter umum dan pendidikan spesialis dengan supervisi dan akreditasi oleh badan akreditasi atau oleh FK yang sudah mampu menjadi pengampu pendidikan untuk mendidik bidang spesialisasi tertentu. Disini pendidikan dokter umum menjadi tujuan utama, sedang pendidikan spesialis adalah bertujuan agar membantu dan melengkapi pendidikan spesialisasi sehingga percepatan penambahan tenaga dokter spesialis. Pendidikan dokter umum dilakukan dengan melibatkan PUSKESMAS disekeliling RSUD tersebut sebagai ajang pembelajaran PUBLIC HEALTH SERVICES.

5. Mendirikan satu laboratorium biomedik atau Sentra Penelitian Biomedical yang lengkap di RSP atau RS lahan pendidikan yang digabungkan dengan fungsi sentra diagnostik Agar dapat melakukan stimulasi dan motivasi timbulnya pusat penelitian secara nasional.

6. Dengan menghimpun tenaga profesional dibidang biomedical, biologi, biokimia dan Mikrobiologi, virologi, Farmasi, Immunologi, Molecular Biology dengan tujuan penelitian dasar menuju kearah produksi bilogical modifier atau biological drugs. Bibit ini sudah ada di Indonesia tersebar diberbagai departemen, Misalnya LITBANGKES milik milik depkes, Lembaga Veteriner di Surabaya, Biofarma, dan pada beberapa PTN negeri seperti UGM, ITB, IPB, UNAIR dengan Pusat riset penyakit tropisnya.

7. Dengan mengejar ketertinggalan teknologi biomedik di tanah air didalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Perguruan tinggi diharuskan memberikan kontribusinya, mereka harus bisa bekerjasama secara tim, menentukan arah penelitian dasar yang mana yang segera bisa diaplikasikan dan dijual ke industri. Sumbangan dari FKN dan PTN berupa tenaga, maupun pemikiran dan kemampuan teknologi diarahkan sedemikian rupa agar proyek penelitian ilmu dasar dapat berkembang sesuai galur yang telah ditetapkan. Disinilah semangat gotong royong diperlukan dengan harapan biaya serendah mungkin, hasil menjadi semaksimal mungkin.

8. Pendidikan spesialis tidak hanya di FKN, tetapi diseluruh rumah sakit yang memenuhi syarat tertentu setelah diakreditasi secara obyektif tenaga, fasilitas dan kemampuan calon pendidik spesialisnya. Ujian nasional bagi dokter spesialis dan dokter umum sebagai alat ”BENCH MARKING kompetensi dibidang ilmu kedokteran Selain itu perlu juga perlu dilakukan restrukturisasi sistem dan struktur organisasi pendidikan dokter yang rumah sakitnya tunduk pada depkes sementara dekan sebagai penanggung jawab pendidikan kepada diknas.

9. Sebagai langkah crash program mengalih tugaskan para dokter yang menjadi dosen LB ( luar biasa ) tenaga DEPKES di RSP atau RS lahan pendidikan, menjadi dosen tetap bagi FK dan diberikan reward jabatan akademis sesuai prestasi mereka. Proses pengalihan dosen LB menjadi Dosen tetap di dilakukan setelah melalui proses penyaringan yang meliputi kemampuan mengajar, kemampuan meneliti dan loyalitas dan dedikasi terhadap ilmu yang diembannya. Harus diusahakan adanya pos anggaran pendidikan dokter dan dokter spesialis,

10. Untuk jangka panjang harus ada suatu UU pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan yang mengatur soal tatalaksana, pembiayaan dan sistem penempatan tenaga. Bila perlu dipisahkan depdiknas menjadi dua yaitu Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan dasar dan Kebudayaan. Demikian pula fungsi rumah sakit pendidikan, rumah sakit lahan pendidikan serta pendidkan dalam bidang profesi kesehatan misalnya perawat/nurse, penilik kesehatan, bidan dan lain sebagainya perlu aturan yang jelas kemana induknya. Disini diperlukan kerjasama yang baik antara MENKES dan MENDIKNAS selaku sesama pembantu presiden, dalam membangun sistem pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya dan mendorongnya menjadi suatu tenaga dorongan lahirnya industri biomedical enginering yang sebenarnya dapat kita capai. Optimisme ini didasari bahwa bibit industri biomedikal ini sudah ada di berbagai Fakultas misalnya Fakultas kedokteran, Kedokteran hewan, Pertanian Farmasi serta industri BUMN misalnya Biofarma, Kimia Farma, Indo Farma.

Sabtu, 26 Juli 2008

Sudigdo Adi Impikan Rusah Sakit Universitas

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP, Sudigdo Adi nampaknya cocok benar duduk dalam komisi yang salah satunya membidangi pendidikan ini. Bagaimana tidak politikus yang memiliki profesi awal sebagai dokter spesialis kulit ini memiliki pengalaman segudang di bidang pendidikan mulai dari dosen sampai jabatan guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung ditambah pengalamannya mengikuti berbagai macam organisasi, seperti organisasi kedokteran nasional maupun internasional, organisasi pemuda maupun politik.

Sebagai politikus di Senayan maupun sebagai dokter, dirinya seringkali menyuarakan kelemahan-kelemahan sistem pendidikan tinggi di Indonesia terutama pendidikan kedokteran. Menurut Sudigdo walaupun pendidikan kedokteran di Indonesia sudah berkembang sejak Perang Dunia I, Universitas di Indonesia yang memiliki fakultas kedokteran tidak berkembang sebagaimana mestinya dan sebagaimana kebutuhan dan tuntutan zaman.

Hal ini bisa dilihat di dua universitas tertua di Indonesia yang memiliki fakultas kedokteran, seperti Universitas Indonesia (UI) di Jakarta dan Universitas Airlangga (Unair) di Surabaya. Menurutnya dari contoh kedua universitas yang terkenal melahirkan tenaga-tenaga dokter professional itu masih belum memiliki rumah sakit sendiri.

"Seluruh Universitas di Indonesia yang memiliki fakultas kedokteran tidak memiliki rumah sakit sendiri. UI belum memiliki rumah sakit sendiri, dan masih menggunakan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo milik Departemen Kesehatan untuk kepentingan pendidikannya. Begitu juga dengan Universitas Padjajaran (Unpad) yang masih menggunakan Rumah Sakit Hasan Sadikin milik pemerintah daerah. Universitas-universitas lainnya pun seperti itu," ujar Sudigdo.

Dengan kondisi seperti ini universitas pun akhirnya hanya berkembang menjadi fasilitas belajar semata, seperti mempelajari ilmu-ilmu klinis seperti kesehatan masyarakat, epidemologi, laporan kasus dan sebagainya. "Padahal seharusnya seperti universitas lainnya di luar negeri yang memiliki rumah sakit atau klinik sendiri, ilmu yang dipelajari mahasiswanya pun tidak semata ilmu-ilmu yang telah disebutkan tadi, namun bisa digunakan sebagai fasilitas pengembangan ilmu kedokteran, seperti riset, mikrobiologi, molecular, biokimia dan sebagainya," ujar anggota European Academy of Dermato Venereology ini.

Hal ini tentunya merupakan satu kondisi yang tidak mengembirakan, mengingat sejarah sekolah kedokteran pertama di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak tahun 1851, dimana pada saat itu didirikan sekolah pendidikan kedokteran pertama di Indonesia oleh Pemerintah Jajahan Belanda di Welterveden, Gambir Batavia. Dan walaupun sejarah kedokteran di Indonesia telah berusia lebih dari 150 tahun, menurut Sudigdo, untuk masalah riset, sekolah kedokteran di Indonesia tertinggal 30-40 tahun dibandingkan dengan negara lainnya.

"Dengan potensi dokter yang tidak kalah dengan negara-negara maju, sebaiknya pemerintah membangun satu pusat riset bidang kesehatan. Pusat riset itu jangan dibuat di Jakarta, supaya seluruh dokter tidak ngumpul di Jakarta saja. (www.jurnalnasional.com)

Penyakit Menular Bisa Muncul Setiap Saat Di Aceh

Sanitasi lingkungan dan manajemen limbah di Aceh apabila tidak cepat mendapat perhatian, paska gempa bumi dan gelombang tsunami setiap saat bisa muncul penyakit menyerang kepada warga yang berada di pengungsian.


Masalah ini sangat penting untuk diperhatikan pemerintah, kata Anggota Komisi IX DPR RI Prof Dr dr Sudigdo Adi, SpKK (K), di Solo, Sabtu.

"Sanitasi lingkungan dan manajemen limbah di sana sampai sekarang ini belum disentuh, padahal sangat penting untuk menghambat lajunya penyakit menular yang akan muncul," ujarnya.

Di Aceh sekarang ini rawan penyakit menular yang setiap saat bisa muncul seperti muntaber dan bahkan kini sudah ada "bakteri gas gang grene" (pembusukan pada luka).

Kepada penderita yang terkena bakteri tersebut untuk mengatasinya harus dilakukan amputasi, dan sampai sekarang ini sudah ada beberapa relawan yang terserang, kata Sudigdo Adi dari Fraksi PDI Perjuangan.

Ia mengatakan Departemen Kesehatan mulai sekarang perlu membuat perencanaan-perencanaan dalam mengtasi persolaan bencana alam dan ini tidak hanya untuk Aceh, Sumatra Utara, Nias dan Nabire saja.

"Di negara kita ini kan terdiri dari pulau-pulau dan rawan bencana alam, maka perlu adanya payung hukum untuk membuat suatu badan penanggulangan masalah-masalah bencana alam yang mendadak dan tidak bisa diramalkan. Payung hukum itu perlu untuk membentuk suatu managerial yang optimal dengan memperhatikan sumber dana dan daya yang ada," katanya.

Menyinggung mengenai banyaknya bantuan baik berupa uang maupun barang dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri yang dikirim ke Aceh, Sudigdo Adi berpendapat harus ada lembaga independen yang mengontrol.

Dikatakan bahkan bilamana perlu dari pihak luar negeri yang memberikan bantuan ke Aceh itu, untuk mengontrolnya bisa menyertakan lembaga independen.

"DPR jelas tidak akan mampu untuk melakukan kontrol dan pengawasan itu, untuk apasalahnya kalau ada suatu badan independen yang ikut mengontrolnya," katanya.

Sementara itu pula dengan berkaca pada keadaan di Aceh, Nabire, Sumatra Utara pemerintah tampak tergagap-gagap menghadapi keadaan darurat tersebut baik dari segi perbekalan, informasi dan menejerial organisasi, kata Sudigdo Adi yang menjadi anggota DPR Pusat asal daerah pemilihan Jawa Tengah.

Ia mengatakan sementara secara kasat mata tampak kurangnya mutu layanan kesehatan terutama di daerah yang letaknya di pinggiran, layanan bagi keluarga pra sejahtera atau miskin dan belum tersedia perangkat perundangan yang efektif melindungi orang sakit atau terkena bencana.

Dalam perencanaan anggaran tampaknya masih kurang dalam memperhatikan berbagai faktor antara lain utilitas rumah sakit, kepadatan penduduk, klasifikasi yang meliputi utilitas tenaga, penggunaan rumah sakit sebagai sarana pendidikan, kemungkinan adanya bencana alam letusan gunung, banjir dan lain-lain.

Dalam tahun 80-an Puskesmas merupakan ujung tombak presentatif dan kuratif, tetapi keadaannya sekarang banyak yang perlu rehabilitasi dan perlu juga dingat mengenai jumlah dokter untuk memenuhi kebutuhan di Puskesmas, mengingat sekarang banyak lulusan fakultas kedokteran yang menunggu PTT.